REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) tidak timbul secara tiba-tiba karena memiliki tahapan yang dapat dideteksi. Direktur Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta Etty Kumolowati menjelaskan, ODGJ tidak dapat membedakan realitas dengan halusinasi mereka. Mereka merasa mendengar atau melihat sesuatu dan melakukan apa yang didengar atau dilihat itu.
Sebelum parah, harus deteksi dini keanehan yang muncul pada orang-orang sekitar. Perubahan kecil pada seseorang, misalnya tidak mau makan, menyendiri, atau perubahan perilaku dalam rentang waktu tertentu. Di tahap itu, orang tersebut bisa diajak bertemu psikolog yang kini ada di puskesmas untuk mendapatkan psikoterapi. Bila belum teratasi, bisa ke psikiatri.
"Tapi, kebanyakan yang datang ke psikiatri kondisinya sudah parah," kata Etty melalui telepon, Rabu (21/2).
Terkait dengan kasus penyerangan ulama, kalau pelakunya benar-benar ODGJ, serangannya tidak selektif. Karena itu, penentuannya harus dilihat betul-betul dan tidak bisa langsung dilakukan. "Mereka yang diduga ODGJ sangat bisa dilakukan tes psikiatris," ucap Etty.
Untuk kasus penyerangan ulama, kepolisian bisa menangkap lalu melakukan pemeriksaan psikiatris. Sebab, kalau ODGJ menerima kekerasan, mereka akan membalas.
ODGJ yang masuk ke rumah sakit jiwa sebagian besar melakukan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun lingkungan. Persoalannya, masyarakat tidak paham cara memperlakukan ODGJ, belum lagi stigma terhadap mereka.
Orang gila serang ulama.
Sebelumnya, terjadi beberapa peristiwa serangan terhadap sejumlah ulama yang tak hanya mengakibatkan luka-luka, tetapi juga kematian korban. Bareskrim menyebut sudah ada 21 peristiwa kekerasan terhadap pemuka agama.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) cabang DKI Jakarta, Nova Riyanti Yusuf meminta terduga penyerang ulama tersebut menjalani pemeriksaan kesehatan jiwa. Nova menjelaskan, Undang-Undang (UU) Kesehatan jiwa Nomor 18 Tahun 2014 Bab VI Pasal 71-73 membahas pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum.
Berdasarkan UU tersebut, lanjutnya, orang yang diduga mengalami gangguan jiwa dan menyerang ulama ini harus diperiksa kesehatan jiwanya. "Tujuannya untuk menentukan kemam puan seseorang dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan dan menentukan kecakapan hukum seseorang untuk menjalani proses peradilan," ujarnya, Ahad (25/2).