REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pembina Masjid Jogokarian Yogyakarta, Ustaz Jazir ASP mengatakan, Masjid memiliki peran dalam pencerdasan politik masyarakat. Menurutnya, Masjid dinilai penting menumbuhkan kesadaran berbangsa, namun tetap perlu ada batasan dalam aktivitas berpolitik di dalamnya.
Pandangan itu disampaikannya menyusul semakin kentalnya nuansa politik jelang Pilkada dan Pilpres 2019. Ustaz Jazir ASP mengatakan, sebenarnya, kesadaran politik masyarakat muslim masih perlu ditingkatkan, namun batasan tetap penting.
"Batasan yang dimaksud adalah, kesadaran berpolitik dapat disampaikan dengan dorongan aktif dalam pemungutan suara. Sedangkan untuk penentuan pilihan partai atau calon yang diusung oleh partai politik, masyarakat tak perlu terlalu digiring," ujarnya usai menjadi pemateri dalam sarasehan bertema Masjid dan Birokratisasi Gerakan Islam yang digelar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka), Rabu (28/2).
Sebenarnya, kesadaran politik masyarakat muslim masih perlu ditingkatkan. Hal ini pun mendorong The al-Falah Institute Yogyakarta untuk menggelar sarasehan takmir masjid untuk membahas hal tersebut.
“Masyarakat cukup diinformasikan terkait kriteria yang sesuai saja,” ujar dia. Selanjutnya, biarkan masyarakat yang mentukan pilihanya sesuai dengan pertimbanganya masing-masing.
Pada prinsipnya, ia menilai bahwa Masjid juga harus mengambil peran strategis dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Namun, ia menekankan, Masjid tidak boleh menjadi alat politik. Sehingga, batasan informasi yang disampaikan hanya sebatas kriteria saja tanpa menunjukan kecenderungan terhadap satu golongan.
Untuk masjid yang ia bina pun juga melakukan kajian rutin yang dikemas dalam kajian politik islam. Hal ini dilakukan demi menciptakan jamaah yang lebih melek politik.
Ia pun menilai, masyarakat harus melek politik karena walau bagaimanapun manusia itu harus berpolitik. “Manusia diciptakan itu untuk menjadi khalifah, oleh karena itu otomatis manusia itu merupakan mahkluk politik dan memerlukan kepemimpinan. Entah itu seseorang itu menjadi pemimpin atau yang dipimpin, namun manusia pasti terlibat dalam politik,” ucapnya.
Peneliti The al-Falah Institute Yogyakarta, Muhammad Arif mengatakan, berdasarkan pengamatan Gus Dur, birokratisasi gerakan Islam di Indonesia ini dimulai ketika pada tahun 1984 saat Presiden Soeharto melakukan upaya Islamisasi melalui berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Sebagai seorang militer, maka Soeharto memilih untuk tidak mengutamakan aspek budaya dari gerakan Islam, melainkan lebih menekankan pada aspek institusionalnya saja.
Muncul sebagai gantinya adalah penguasaan negara atas agama. Aktivitas tersebut menguatkan peranan institusional dari gerakan Islam, namun dalam waktu yang relatif cepat ia mengubah gerakan-gerakan Islam menjadi lebih berorientasi kelembagaan daripada kultural, dan hal ini masih terus terjadi hingga sekarang.
“Karena gerakan-gerakan Islam kemudian cenderung berorientasi institusional, maka gerakan Islam dalam konteks tradisi semakin terkikis. Sehingga, tidak jarang dijumpai adanya dakwah-dakwah keagamaan yang dijadikan komoditas politik,” kata Arif.