Rabu 07 Mar 2018 09:22 WIB

Memahami Nasab

Islam sangat menjunjung tinggi persoalan nasab atau keturunan.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Keluarga Bahagia
Foto: Foto : MgRol_93
Ilustrasi Keluarga Bahagia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Islam sangat menjunjung tinggi persoalan nasab atau keturunan. Masyarakat Timur Tengah hingga sekarang mentradisikan untuk menghafal nasab mereka. Setiap anak diajarkan hafal nama-nama kakek buyut mereka, minimal hingga lima tingkatan ke atas. Ini kebanggaan bagi bangsa Arab bahwa keturunan mereka terjaga dan bersih.


Dalam bahasa Arab, nasab berarti keturunan atau kerabat, yaitu pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah. Alquran menyebutkan kata nasab sebanyak tiga kali. Pertama, dalam surah al-Mukminun ayat 101, "Ketika sangkakala ditiup (kiamat) maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu."

Kedua, dalam surah al-Furqan ayat 54, "Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia berketurunan (nasab)." Ketiga, dalam surah as-Saffat ayat 158 yang berisi tuduhan umat Nabi Yunus AS yang ingkar bahwa Allah SWT dan jin berhubungan nasab.

Nasab adalah pertalian kekeluargaan yang didasarkan pada akad perkawinan yang sah. Dalam ajaran fikih Islam, seorang anak bernasab kepada ayahnya. Inilah alasannya mengapa Islam sangat keras mengutuk perilaku perzinaan. Anak yang lahir dari hasil zina tidak dapat dinasabkan kepada siapa pun. Demikian juga wanita yang berzina dengan banyak laki-laki, kemudian hamil. Maka, ia tak dapat pula memastikan siapa ayah dari anak yang dikandungnya.

Para ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Sufyan As-Sauri, Abdurrahman al-Auza'i, dan lainnya sangat keras dan mengecam pelaku perzinaan. Seorang laki-laki yang menjadi bapak biologis dari anak yang lahir dari zina, ia tidak dapat menjadi wali dari anak perempuan hasil zinanya itu. Alasannya, nasab hanya bisa diturunkan melalui jalur pernikahan. Sedangkan, wali nikah hanya boleh dari bapak yang sah secara syariat.

Bahkan, Imam Syafi'i berpendapat, seorang anak perempuan yang lahir dari perzinaan, ia boleh dinikahi bapak biologis yang menzinai ibunya. Hal ini membuktikan, tak ada ikatan nasab apa-apa antara anak dan bapak karena hubungan perzinaan. Sekalipun, secara biologis mereka sebenarnya ada hubungan pertalian darah.

Demikian juga dengan harta warisan. Anak hasil perzinaan tak bisa mendapatkan waris apa-apa dari orang tuanya, demikian pula sebaliknya. Inilah yang disepakati para ulama, bahwa akad nikah merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh keturunan yang sah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement