REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai akan menjadi kerugian besar bagi partai politik (parpol) jika calon tunggal benar-benar terjadi pada pemilihan presiden (pilpres) 2019 mendatang. Sebab, dengan lahirnya calon presiden (capres) tunggal membuat partai krisis eksistensi sebagai institusi yang punya fungsi melakukan rekrutmen dan kaderisasi politik.
"Sangat mungkin nantinya akan membuat pemilih enggan menggunakan hak pilihnya di pemilihan umum (Pemilu)," kata Titi, saat dihubungi melalui pesan singkat, Kamis (8/3).
Titi menambahkan, meski konstitusional calon tunggal bisa berujung pada skeptisme dan menurunnya kepercayaan publik pada partai politik, kata Titi, sangat ironis kalau sampai calon tunggal. Padahal, Indonesia sebagai negara dengan berpenduduk nomor empat terbesar di dunia memiliki multipartai.
Namun, Titi mengaku dirinya sangat yakin pilpres 2019 tidak akan memunculkan calon tunggal. Setidaknya, menurut Titi, akan ada dua calon. Kemudian, kelak mestinya ada koreksi pada undang-undang pemilu untuk menekan calon tunggal dan mengokohkan demokrasi. Sehingga tidak ada lagi kekhawatiran adanya calon tunggal. Sebab, jika hanya ada satu pasangan calon maka itu sangat tidak baik untuk iklim demokrasi di Indonesia.
"Langkahnya dengan menghapus ambang batas pencalonan presiden atau yang jamak kita kenal sebagai presidential threshold," tuturnya.
Dalam undang-undang pemilu diputuskan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) adalah 20 persen. Maka, dengan demikian, pada pilpres 2019 nanti tidak ada parpol yang bisa mengusung capres atau cawapres sendiri tanpa berkoalisi.