REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis sosial-politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menjelaskan, ada dua implikasi politik terkait keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menandatangani UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Implikasi pertama, menguatnya citra ganda presiden.
Dia menyebutkan, keputusan tersebut menguatkan citra positif karena pro terhadap keinginan publik yang menolak pasal 73, 122 ,dan 245. “Saat yang sama mendapat citra negatif karena terkesan gagal koordinasi dan komunikasi antara Presiden dengan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dan partai penguasa saat proses pembuatan UU MD3," tutur dia dalam keterangannya kepada Republika, Kamis (15/3).
Implikasi kedua, menurut Ubedilah, DPR mendapatkan jalan legal untuk melakukan tindakan represif dengan menggunakan pasal 73, 122, dan 245. "Mulai hari ini pun DPR dapat jalan legal untuk menunjukkan kekuatannya dan bertindak represif," ujar dia.
Artinya, lanjut Ubedilah, DPR akan berhadapan dengan rakyat secara represif. Dalam beberapa hal, DPR juga akan berhadapan dengan pemerintah.
"Ruang kemungkinan DPR akan berhadap-hadapan secara represif dengan rakyat dan dalam hal tertentu dengan pemerintah, itu akan terjadi yang memungkinkan memperkeruh tahun politik," katanya menjelaskan.
Sampai batas waktu 30 hari setelah UU MD3 disahkan bulan lalu, Jokowi tidak menandatangani UU MD3. Berdasarkan UUD 1945 pasal 20 dan UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan pasal 73, UU MD3 tetap diundangkan dan berlaku, meski presiden tidak menandatanganinya.