REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dukungan keluarga sangat dibutuhkan untuk mengatasi adanya penyimpangan seksual yang dilakukan para pelaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Sementara, secara psikologis para pelaku LGBT ini sangat rentan terhadap aksi bunuh diri dan terjangkit virus HIV.
Hal tersebut menjadi benang merah dari diskusi bertajuk "Peran Dunia Pendidikan Meredam Penyimpangan Orientasi Seksual Pada Generasi Millenial" yang diselenggarakan Universitas Darma Persada (Unsada) di Jakarta. Dalam diskusi itu tampil sebagai pembicara Prof Dr Ir Aida Vitayala S. Hubeis dari Insititut Pertanian Bogor (IPB), pengajar dari Fakultas Kedokteran Unviersitas Sriwijaya, DR Yuli Kurniawati,Sp.KK, Dr Endah Ronawulan SpKJ dari Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta, dan dr Achmad Mediana SpOG.
Dalam pemaparannya, Aida mengatakan keluarga memiliki peran sangat primer untuk mencegah anak-anaknya terjebak pada perilaku LGBT. Ia menambahkan bahwa keluarga memiliki peran pertama untuk sosialisasi dalam membentuk kepribadian, watak, moral dan etika anggota keluarga yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, bangsa dan negara.
"Keluraga juga mempunyai peran penentu di dalam pembentukan dan perujudan kepribadian anggota keluarga sesuai dengan identitas fitrah biologis primer yang dibawa, yakni lelaki dan perempuan," kata guru besar Fakultas Ekologi Manusia IPB ini dalam keterangannya.
Psikiatri Endah mengatakan dalam sebuah penelitian di Amerika diketahui bahwa munculnya perilaku gay itu sebagai akibat dari pola asuh dan kekerasan yang dilakukan oleh sang ayah. Kondisi ini membuat anak laki-laki itu merasa gagal mendapatkan figur seorang ayah yang membuat dirinya mulai muncul rasa mencintai diri sendiri atau mencintai sosok laki- laki. Penelitian lainnya juga menyebut, kata Endah, perilaku biseksual ini muncul karena adanya gangguan akibat ketidakmatangan seksual yang menghasilkan kondisi homoseksual ketika dewasa.
"Kondisi homoseksual juga bisa terjadi akibat trauma masa kecil dimana pernah merasakan penyiksaaan dari saudara kandung, teman, ataupun orang tua," jelasnya.
Berdasarkan hasil riset yang pernah dilakukan di Amerika, Endah menyebut sebanyak 30 persen para pelaku homoseksuel itu telah mencoba melakukan bunuh diri. Tren tersebut dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan mereka yang memiliki perilaku seks hetero.
"Tidak ketinggalan juga sekolah memiliki intimidasi yang meningkatkan risiko bunuh diri," jelasnya.
dr Achmad menjelaskan untuk mengatasi para pelaku LGBT itu perlu adanya kerjasama yang sinergi antara keluarga, sekolah, ahli kesehatan, seksologi, serta psikolog. "Hal yang tak penting langkah kerjasama ini perlu dilakukan untuk melakukan terintegrasi dan evaluasi untuk menyembuhkan mereka."
DR Yuli mengungkapkan data bahwa para pelaku perilaku seks sesama lelaki memiliki faktor resiko 44 kali lipat terinfeksi HIV dibandingkan masyarakat umum. Di kawasan Asia, kata dia, prevalensi HIV 18,7 kali lebih tinggi daripada di masyarakat umum. "Di Amerika Latin, separuh dari orang terinfeksi HIV itu karena tertular melalui hubungan seks anal," ujarnya.
Sementara itu, Rektor Unsada Dr Dadang Solihin mengatakan menjamur LGBT di Indonesia ini akan menjadi penghambat bonus demografi yang akan dihadapi negeri ini pada 2030. "LGBT ini bisa menjadi ancaman buat ketahanan nasional karena mereka tidak akan bisa membuat negeri ini menjadi produktif di masa mendatang," katanya.