REPUBLIKA.CO.ID Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) mendukung pengembangan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) berbasis pesantren, khususnya bank wakaf mikro. Lembaga ini dinilai dapat menjadi solusi permodalan bagi usaha kecil dan pembinaan umat.
"Bank wakaf mikro selama ini membantu masyarakat dan pengusaha kecil untuk memperluas usahanya," kata Ketua Umum Pengurus Pusat MES Wimboh Santoso dalam rapat kerja di Jakarta, Sabtu (24/3).
Wimboh baru saja dilantik sebagai ketua umum MES menggantikan Muliaman D Hadad. Wimboh yang juga menjabat sebagai ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, satu bank wakaf mikro diproyeksikan mampu menjaring sekitar 3.000 nasabah.
Bank wakaf mikro, kata dia, tidak perlu besar. Jumlah ideal nasabah bank wakaf mikro hanya sekitar 3.000 nasabah dengan total dana Rp 8 miliar. Dengan cara ini, Wimboh yakin bank wakaf mikro tidak akan mengalami pembiayaan bermasalah. "Apalagi ini programnya adalah pembinaan umat," kata dia.
Bank wakaf mikro menjaring pengusaha kecil di daerah yang membutuhkan pembiayaan, tetapi tidak mempunyai akses ke keuangan formal. Skema pembiayaan yang ditawarkan adalah tanpa agunan dengan nilai maksimal Rp 3 juta dan margin bagi hasil setara tiga persen.
"Bank wakaf mikro tanpa jaminan, proses cepat, dan unsur pembinaan dikedepankan. Tidak boleh ambil dana masyarakat juga sehingga fokusnya membina dan menyalurkan," kata Wimboh.
OJK telah memfasilitasi pendirian 20 bank wakaf mikro di Jawa. Hingga awal Maret 2018, sebanyak 20 bank wakaf mikro telah menyalurkan pembiayaan bagi 2.784 nasabah dengan nilai total pembiayaan Rp 2,45 miliar. "Bank wakaf mikro ini tanpa ditargetkan akan berkembang biak dengan cepat. Kalau sudah banyak nasabahnya, bisa didirikan lagi," ujar Wimboh.
Wimboh juga berharap MES dapat berkontribusi pada pengembangan sektor industri halal, seperti busana Muslim, makanan halal, farmasi, pariwisata, di samping optimalisasi dana sosial keagamaan, seperti dana haji, zakat, wakaf, serta dana infak dan sedekah.
Ekonomi syariah perlu dipacu lebih cepat karena Indonesia memiliki potensi yang besar. Pada tahun lalu saja, pertumbuhan industri keuangan syariah mencapai 27 persen atau lebih tinggi dibandingkan industri keuangan konvensional. Total aset keuangan syariah (tidak termasuk saham syariah) mencapai Rp 1,133,23 triliun. Pangsa pasar sukuk Indonesia bahkan mencapai 19 persen dari seluruh sukuk yang diterbitkan berbagai negara.
Meski begitu, menurut Wimboh, pertumbuhan keuangan syariah belum optimal karena secara kelembagaan masih belum kokoh dalam menghadapi berbagai tekanan untuk memacu pertumbuhannya. "Berbagai program harus terus dibangun secara berkelanjutan, seperti meningkatkan literasi keuangan atau tingkat pemahaman masyarakat terhadap produk jasa keuangan syariah."