REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, saat ini belum banyak bank di Indonesia yang melengkapi kartu debit maupun kreditnya dengan teknologi cip. Pasalnya, target kartu bercip tahun ini masih kecil.
"Pada 2018 ditargetkan 30 persen kartu sudah berchip, lalu 2019 targetnya 50 persen, lalu 2022 baru 100 persen. Dikarenakan targetnya masih rendah, apalagi dikalikan dengan biayanya, maka (bank) ingin sesuai target," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana kepada wartawan di Jakarta, Kamis, (29/3).
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu marak terjadi pembobolan data nasabah bermodus penyalinan data menggunakan skimmer atau skimming. Perpindahan kartu dari magnetic stripe ke teknologi cip pun diyakini dapat mencegah modus tersebut.
"Untuk mengatasi kejahatan via skimmer, tidak ada cara lain karena tidak ada alat anti skimming. Adanya dengan cip, penyalinan datanya bisa digagalkan," tegas Heru.
Baca juga, Belum Ada Laporan Pengaduan Skimming di Jabar.
Maka demi mencegah, modus tersebut terjadi lagi, OJK bersama Bank Indonesia (BI) bekerja sama untuk mendorong percepatan migrasi kartu dari magnetic stripe ke cip. "BI sudah setuju untuk percepat agar kartu diganti ke cip. Nanti kita secara high level akan bicarakan lagi berapa percepatannya," tuturnya.
Lebih lanjut ia menegaskan, otoritas selalu mengawasi sistem bak secara periodik. Tujuannya untuk menjamin transaksi nasabah aman, sehingga tidak ada masalah di sistem.
"Jadi selalu kami periksa tapi yang tejadi adalah mereka (oknum) serang mesin ATM, oknum pembuat itu memasang skimmer di mesin ATM. Kalau itu sudah menyerang ke masing-masing ATM, maka tidak bisa dijaga satu-persatu sehingga upaya pencegahan efektif yakni dengan cip," tutur Heru.
Menurutnya, modus skimming ini memiliki jaringan internasional. "Pemain lokal hanya memasang alat di ATM, terutama ATM yang jauh dari kantor bank karena sering tidak ada penjaga. Setelah itu datanya dikirim ke luar negeri, digandakan, lalu diambil," jelasnya.