REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) diwacanakan tengah menggodok peraturan yang melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk maju sebagai calon legislatif (caleg) di Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 mendatang. Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai sebaiknya KPU tidak perlu membuat peraturan tersebut.
Menurutnya, KPU tidak perlu melarang mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif. "KPU lebih baik fokus pada tugas mulianya yaitu penyelenggaraan pemilu yang profesionalitas, independen, integritas, dan adil, mendukung penuh KPU dalam mewujudkan pemilih berdaulat sehingga negara kuat," kata Pangi dalam keterangan, Sabtu (7/4).
Pangi menilai, KPU tidak berwenang untuk membuat peraturan melarang siapapun untuk maju sebagai caleg, sekalipun mantan napi kasus korupsi. Alasannya, larangan KPU berarti sama halnya dengan mencabut hak politik warga negara.
Sedangkan, pencabutan hak politik seorang warga negara hanya bisa dilakukan pengadilan melalui putusan majelis hakim. Meski ia tetap mendukung upaya-upaya dalam pemberantasan kasus korupsi dana memberikan efek jera bagi koruptor, hal ini menurutnya bukan wewenang dari KPU.
"KPU harus fokus pada penguatan penyelenggaraan pemilu."
Baca: KPU: Banyak Mantan Koruptor Mengulang Tindak Pidana.
Pangi sepakat, semua pihak harus mendukung agenda pemberantasan korupsi yang menjadi prioritas dan mendesak untuk diselesaikan, sudah masuk ke level agenda maha penting, masalah yang sudah kronis. Namun, mengatur dan menyiapkan regulasi melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg bukan masuk pada tugas, wewenang dan tanggung jawab KPU.
Di dalam UU Dasar 1945, lanjutnya, juga mengatur bahwa siapapun termasuk mantan narapidana mempunyai hak yang sama untuk dipilih ataupun memilih. Apalagi partai bisa berdalih adanya prinsip the right man on the right place yaitu menempatkan orang sesuai dengan kompetensinya sehingga bisa bekerja dengan optimal.
Ditambah lagi, dalam UU Pemilu, mantan narapidana yang tentunya telah menjalani hukuman berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap diperkenankan menjadi caleg atau mengikuti pemilihan umum. Seharusnya, KPU cukup memberikan imbauan melalui Peraturan KPU dan meminta kepada parpol untuk menghadirkan dan mengirim caleg yang bersih, bukan mantan napi korupsi yang jelas-jelas sudah terbukti mengkhianati rakyat dan negara.
Pangi menambahkan penyelenggaraan Pemilu 2019 ini sangat penting dan jangan sampai terjadi pergolakan dan pergesekan antar masyarakat. Disebut sebagai mitigasi bencana politik kalau pilpres dan pileg amburadul dan chaos. "Apakah kita bisa mendeteksi dan mengantisipasi kemungkinan terjadi pergesekan dan pergolakan yang bisa berimplikasi pada instabilitas politik. Karena pertama kali menyelenggarakan Pilpres dan Pileg secara serentak, tentu sangat dinamis," tegasnya.
Sementara itu Menteri Dalam Negeri (Kemendagri), Tjahjo Kumolo mempersilakan KPU untuk membuat aturan tersebut. Meskipun KPU memiliki kemandirian dalam menentukan aturan di PKPU. Namun, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang diatasnya.
"KPU silakan membuat PKPU. Tapi aturan PKPU itu tidak menyimpang dari UU," kata Tjahjo usai bertemu dengan Pimpinan DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (6/4).