REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Upaya pemerintah untuk mewujudkan sistem pendidikan yang lebih berkualitas telah banyak dilakukan. Dukungan anggaran bagi kepentingan pendidikan pun bahkan melonjak hingga dua kali lipat.
Yang menjadi pertanyaan, apakah upaya pemerintah ini sudah mampu menghasilkan sebuah sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan di masa mendatang? Jawabannya, pendidikan di negeri ini hasilnya masih stagnan.
Pengamat pendidikan, Muhammad Nur Rizal, mengungkapkan, pendidikan di sekolah yang ada saat ini masih sangat minim support system dari pemerintah. “Sekolah yang ada saat ini belum sesuai dengan gawat darurat pendidikan di negeri ini,” kata Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) tersebut dalam workshop GSM di hadapan 32 perwakilan sekolah dasaar (SD) se-Kota Semarang, di aula Gedung Labschool Universitas Negeri Semarang (Unnes), Sabtu (7/4).
Menurut Rizal, yang terjadi saat ini, sistem pendidikan yang ada tidak banyak memberikan ruang untuk pengembangan diri dan cenderung membelenggu kreativitas anak. Saat ini, anak- anak lebih banyak terbebeban materi pelajaran yang membuat daya kritis mereka justru tidak muncul. Hal ini dikarenakan orientasi sekolah hanya untuk memenuhi kebutuhan industrialisasi.
Di sisi lain, fungsi pengajar (guru) belum mampu memberikan perubahan yang besar bagi peserta didiknya. “Artinya, guru belum siap mengantarkan anak didiknya untuk menjawab tantangan pendidikan di masa mendatang,” katanya.
Padahal, lanjut Rizal, di era disrupsi seperti saat ini yang paling dibutuhkan justru guru yang lebih berfungsi sebagai motivator, menjadi role model, yang menginspirasi, serta mampu membangun karakter anak didiknya.
Sehingga, perlu ada transformasi mendasar pada sistem pendidikan di negeri ini. Sistem yang maksud berupa pendidikan yang benar-benar memberikan ruang kreativitas bagi anak dengan para guru yang bisa menjadi motivator dalam meningkatkan kompetensi anak.
“Di sinilah, gerakan sekolah menyenangkan hadir dengan menawarkan konsep transformasi melalui penciptaan sebuah ekosistem sekolah yang lebih siap mengantarkan anak-anak didik yang siap menjawab tantangan jaman,” ungkapnya.
Rizal juga menjelaskan, ada empat prinsip utama ketika sekolah itu menjadi sebuah ekosistem sekolah yang menyenangkan, yakni learning environment, pedagogical practice, character development, dan school connectedness.
Keempat prinsip itu yang patut menjadi perhatian bersama demi tumbuh- kembang segala potensi anak. Sedangkan ekosistem sekolah menyenangkan antara lain memiliki ruang aktivitas fisik dan emosi, interaksi yang hangat, dan saling menghargai dalam kegiatan belajar, sehigga siswa merasa aman dan percaya diri serta pembelajarannya terhubung pada persoalan nyata.
Sekolah masa depan, lanjutnya, menggunakan metode belajar yang tidak hanya abstraksi membaca buku lalu ujian. Namun lebih memandang kepada persoalan nyata atau tematik dan itu membutuhkan paradigma yang berkembang di masa mendatang.
Sekolah masa depan merupakan sekolah yang memberikan proses pengajaran yang bukan ordering, tapi coaching, melalui pendampingan, guru yang menginspirasi dan memotivasi. “Oleh karena itu, ekosistem sekolah yang positif ini menjadi penting, demikian halnya pola pengajaran yang berpusat kepada siswa,” lanjutnya, dalam workshop yang digelar dalam rangka Dies Natalis Unnes yang ke-53 ini.