REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Digitalisasi wisata halal dinilai sangat krusial bila satu negara ingin menangkap peluang pertumbuhan sektor ini. Apalagi, jumlah generasi millennial terus tumbuh dan mereka bergantung pada ponsel.
CEO Crescent Rating Fazal Bahardeen menjelaskan, destinasi wisata halal harus bisa dicari daring. Menurut dia, penting bagi pelaku industri memahami juga demografi sehingga memahami perilaku wisatawan Muslim global. Mulai dari praperjalanan wisata sampai pascaperjalanan wisata yang wisatawan Muslim lakukan.
"Millennial, termasuk Muslim millennial, sangat bergantung pada internet. Tapi pesannya adalah lihat lebih dari sekadar angka sehingga kita bisa melayani mereka dengan lebih baik," kata Fazal dalam peluncuran Global Muslim Travel Index (GMTI) 2018 di Jakarta, Rabu (11/4).
Penting juga memahami tren pasar Muslim. Crescent Rating menangkap, ada 10 isu dan isu tekologi seperti konektivitas internet, pencarian konten informasi, dan kecerdasan buatan di dalamnya.
Karena itu, GMTI 2018 menambah aspek kehadiran akses digital wisata halal sebagai salah satu dari empat aspek penilaian tambahan. Skor Top 20 negara OIC untuk aspek kehadiran akses digital wisata halal adalah 27, sementara non-OIC 37. Di Top 3 OIC, skor kehadiran akses digital wisata halal Malaysia 68, Indonesia 60, dan UEA 71. Sementara itu, untuk aspek yang sama Top 3 non-OIC, skor Singapura 49, Thailand 51, dan Inggris 44.
Soal adanya aspek tambahan dalam GMTI 2018, Menteri Pariwisata Indonesia Arief Yahya mengakui, gaya hidup masyarakat dunia berubah dan makin berbasis informasi di gawai. Maka, aneh bila Indonesia tidak melakukan digitalisasi.
Kemenpar melakukan digitalisasi, termasuk untuk mendeteksi jumlah wisatawan halal dan promosi wisata yang langsung menyasar individu. "Digitalisasi jadi prioritas kami. Inisatif pertama kami adalah go digital. Kami paham, itu kunci memenangkan persaingan di era ini," kata Arief.
Direktur Mastercard Indonesia Tommy Singgih mengatakan, saat ini dunia menjadi seolah tanpa batas. Ia mencontohkan, negara-negara Indocina yang banyak memanfaatkan visa on arrival (VoA).
Registrasi VoA negara-negara wilayah itu harusnya bisa daring atau setidaknya berbasis laman dengan biaya visa yang kursnya sudah ada di sana. Dengan demikian. bila wisatawan sudah registrasi VoA dan disetujui, mereka bisa langsung membayar saja di konter VoA di negata tujuan tanpa antre panjang dan menghitung kurs.
Strategi digitalisasi Mastercard adalah memfasilitasi transaksi yang aman dan nyaman. "Ini jadi kontribusi bagi kami yang bisa dinikmati juga oleh wisatawan Muslim," kata Singgih.