REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia telah mengerahkan polisi militer di Douma, Ghouta Timur, Suriah. Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan, aparat tersebut dikerahkan untuk menjaga keamanan di kota tersebut.
"Mereka menjamin penegakan hukum dikota tersebut," kata Kementerian Pertahanan Rusia kepada kantor berita RIA, Kamis (12/4).
Pengerahan polisi militer itu menyusul kontrol penuh yang telah didapatkan militer pemerintah Suriah di Douma. Kota tersebut merupakan pertahanan terakhir kelompok oposisi yang menentang Presiden Suriah Bashar al Assad.
Baca juga, Puluhan Orang Mati dalam Kondisi Mengenaskan di Douma
Sementara, pengerahan polisi militer itu ditakutkan akan menjelma menjadi konflik terbuka dengan Amerika Serikat (AS) dan sekutu. Ini menyusul rencana kampanye militer yang akan dilakukan sekutu terkait dugaan penggunaan senjata kimia di Douma beberapa waktu lalu.
Presiden AS Donald Trump tengah menggalang kekuatan militer internasional guna meluncurkan serangan ke negara itu sebagai respon penggunaan gas beracun. Langkah yang diambil Trump kemungkinan akan mendapatkan dukungan dari Prancis serta Inggris yang kini tengah mengadakan pertemuan guna membahas hal tersebut.
AS sejauh ini menuding Rusia terkait pemakaian senjata kimia tersebut. Trump juga sudah memberikan peringatan kepada Moskow akan serangan rudal ke Suriah sebagai respon dari penggunaan senjata mematikan tersebut. Rusia merupakan sekutu dekat Pemerintah Suriah.
Menanggapi peringatan itu, militer Suriah lantas menyiagakan sistem anti rudal guna mengantisipasi serangan. Sistem difokuskan untuk melindungi pangkalan udara agar dapat membatasi kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh AS dan sekutunya terhadap militer negara.
Sistem anti rudal itu disebut-sebut diperkuat dengan perlengkapan milik Rusia. Lembaga Observasi Hak Asasi Manusia Suriah mengatakan, pasukan pendukung pemerintah Suriah juga telah mengosongkan bandara utama dan pangkalan udara militer.
Sementara, berbeda dengan Trump yang secara terang-terangan akan menyerang Suriah, Menteri Pertahanan AS Jim Mattis mengeluarkan pernyataan yang penuh kehati-hatian. Mattis mengatakan, AS hingga saat ini masih mengumpulkan intelejen terkait pelaku serangan gas beracun tersebut.
"Kami masih mendalaminya," kata Jim Mattis saat ditanya terkait intel yang telah dikumpulkan negara.
Pemerintah Suriah dan Rusia membantah tuduhan yang dilontarkan AS terkait penggunaan gas beracun. Mereka mengatakan, hal itu merupakan laporan palsu yang dibuat oposisi pemerintah dan relawan di Douma.