REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya di luar pusat pendaftaran pemilih di ibukota Afghanistan Kabul pada Ahad (22/4). Peristiwa tersebut menewaskan sedikitnya 52 orang dan melukai lebih dari 100 orang. Jumlah korban diperkirakan akan terus bertambah.
Hal itu merupakan serangan paling serius dalam persiapan pemilihan parlemen yang dijadwalkan berlangsung Oktober. ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Najib Danesh mengatakan pelaku berjalan kaki mendekati pusat pendaftaran pemilu. Lokasi tersebut merupakan tempat pemerintah mengeluarkan kartu identitas sebagai bagian dari proses pendaftaran untuk sekitar 10 juta pemilih di seluruh Afghanistan. Pendaftaran dimulai bulan ini.
Ledakan bom menghancurkan mobil dan jendela di gedung-gedung di dekatnya. Pejabat senior PBB di AfghanistanTadamichi Yamamoto, mengutuk serangan itu.
"Dengan memperumit ketidakpedulian terhadap kehidupan warga sipil, pembunuhan itu tampaknya menjadi bagian dari upaya ekstrem yang sepenuhnya tidak dapat diterima untuk menghalangi warga Afghanistan dari melaksanakan hak konstitusional mereka untuk mengambil bagian dalam pemilihan," katanya.
Ledakan terjadi di Dasht-e Barchi, daerah Kabul barat yang dihuni oleh banyak anggota kelompok mayoritas Syiah, Hazara. Kelompok itu telah berulang kali dilanda serangan yang diklaim oleh ISIS.
Menurut data AS, lebih dari 750 orang telah tewas atau luka parah dalam serangan bunuh diri oleh kelompok militan dari Januari hingga Maret 2018. Insiden tersebut membuat kredibilitas pemerintah Presiden Ashraf Ghani, dipertaruhkan. Ia harus memastikan pemilihan parlemen yang lama tertunda berlangsung tahun ini.
Presiden Ghani mengutuk serangan itu. Menurutnya serangan itu tidak akan melemahkan proses demokrasi nasional. Para mitra internasional Afghanistan bersikeras bahwa pemilihan harus diadakan tahun ini sebelum pemilihan presiden pada 2019.
Lebih dari 7.000 pusat pendaftaran pemilih telah didirikan di seluruh Afghanistan untuk menangani sekitar 10 juta pendaftar. Para pejabat telah menjanjikan keamanan ketat untuk memastikan prosesnya berjalan dengan aman. Tetapi insiden tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi warga.
"Mereka harus menjaga negara dengan aman, jika mereka tidak bisa, orang lain harus berada di tempat mereka," kata seorang korban luka, Sajeda.
Pemungutan suara dapat ditunda hingga tahun depan jika pendaftaran pemilih tidak selesai sebelum musim dingin. Parlemen masih menjabat tiga tahun setelah masa jabatannya secara resmi berakhir. Jika terjadi penundaan lagi maka akan semakin melemahkan sistem politik Afghanistan
Ada kekhawatiran tambahan pada Ahad ketika konvoi militer NATO di Kabul secara tidak sengaja memukul dan melukai seorang anak. Ini memicu aksi protes. Polisi membubarkan massa dengan tembakan udara. Seorang juru bicara NATO mengatakan, anak itu dibawa ke rumah sakit dan dalam kondisi stabil.