REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Hayati Syafri, dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Sumatra Barat, berharap agar semester ganjil tahun ajaran baru 2018/2019 nanti ia bisa kembali mengajar. Saat ini Hayati masih menjalani 'sanksi akademik' berupa penonaktifan sebagai dosen. Hayati diminta untuk libur dari aktivitas mengajar karena menjalankan komitmennya dalam mengenakan cadar di dalam kampus.
Hayati menyampaikan, sampai sekarang pihak kampus belum mengubah pendiriannya dalam mengatur cara berbusana keluarga kampus, termasuk membatasi penggunaan cadar di lingkungan akademik. Meski menerima sanksi yang diberikan kepadanya semester ini, Hayati sedang menyusun langkah hukum untuk memperjuangkan haknya untuk mengajar pada semester depan.
"Belum ada perubahan dari kampus. Ummi saat ini berharap bisa mengajar semester depan. Jadi saat ini dibantu oleh advokat," jelas Hayati.
Hayati juga mengaku sedang menunggu hasil pemeriksaan oleh Komnas HAM dan Ombudsman RI terhadap pihak kampus. Ia berharap, pemeriksaan dari kedua lembaga tersebut bisa mendukung langkahnya untuk kembali mengajar dengan tetap menjalankannya keyakinannya dalam bercadar.
Baca juga, Penjelasan UIN Kalijaga Soal Larangan Cadar di Kampus.
Sementara itu, pihak kampus sendiri masih belum memutuskan apakah Hayati bisa kembali mengajar semester depan, atau tetap diliburkan. Kepala Biro Administrasi Umum, Akademik, dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi Syahrul Wirda menjelaskan, peluang Hayati kembali mengajar tentu sangat terbuka selama kode etik kampus dijalankan dengan baik.
Apalagi, lanjut Syahrul, Hayati masih berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sah dan memiliki kewenangan sebagaimana mestinya aparat negara. Hanya saja, penonaktifannya saat ini diberikan sebagai peluang bagi Hayati untuk kembali menaati kode etik kampus.
"Sebelum dia diberhentikan sebagai pegawai ya kewajiban mengajar masih ada. Sekarang kan dia masih dosen, cuma nonaktif. Semester depan bisa aja dia mengajar lagi kalau kampus mengakomodir kembali. Kalau kampus keputusannya lain ya saya nggak tahu juga," jelas Syahrul.
IAIN Bukittinggi, lanjutnya, sudah berupaya melakukan dialog dengan Hayati ataupun dengan perwakilan organisasi masyarakat (ormas) Islam yang mendukung langkah Hayati. Namun dialog yang terjadi sepertinya tidak berjalan mulus. Kedua pihak, baik Hayati dan ormas Islam, berencana akan melaporkan kampus ke kepolisian.
"Kami sudah dialog dengan Komnas HAM dan Ombudsman. Pada prinsipnya dosen (Hayati) tidak mau menghormati kode ketik kampus. Kami minta standar umum, kami minta waktu mengajar, waktu pelayanan akademik ya tanggalkan dulu cadarnya. Namun kalau secara prinsip dia nggak mau, ya apa yang mau didalog-kan," kata Syahrul.
Hari ini Ombudsman RI Perwakilan Sumbar memanggil Rektorat IAIN Bukittinggi untuk menerima Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) atas dugaan maladministrasi terhadap dosen Hayati. Bila terbukti melakukan tindakan maladministrasi, maka rektor harus melakukan tindakan korektif yang diajukan Ombudsman RI dalam kurun waktu 30-60 hari ke depan. Pihak kampus mengaku, apapun hasil yang disampaikan Ombudsman RI akan dikoordinasikan dengan Kementerian Agama untuk ditindaklanjuti.