REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Editor surat kabar Bangkok Post, Umesh Prandy, mengaku telah dipaksa mengundurkan diri. Hal itu terjadi setelah ia menolak menghentikan pemberitaan kritisnya tentang penindasan yang dilakukan pemerintahan militer Thailand.
Prandy yang telah memegang posisi editor sejak Juli 2016 mengatakan, dewan direksi Bangkok Post telah memintanya untuk 'meredam' laporan terkait tindakan pemerintah militer. Prandy selama ini banyak memberitakan tentang penindasan terhadap kebebasan berbicara dan penundaan pemilihan umum yang dilakukan pemerintah.
"Ketika diminta untuk meredam pemberitaan, saya tidak bergeming dan terus menunjukkan kepada mereka bahwa saya lebih suka kehilangan posisi daripada harus tunduk. Keputusan itu akhirnya jatuh 60 hari sebelum kontrak dua tahun saya berakhir," kata Prandy dalam sebuah pernyataan tertulis pada Senin (14/5) malam, dikutip The Guardian.
Dewan direksi Bangkok Post terdiri dari beberapa tokoh bisnis dan pendidikan Thailand. Banyak di antara mereka yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah. Salah satu anggotanya, Wuttisak Lapcharoensap, dilantik sebagai menteri pendidikan tahun lalu.
Kebebasan pers di Thailand telah dibatasi sejak junta militer mengambil alih pemerintahan dalam kudeta pada 2014. Banyak wartawan ditangkap di bawah hukum lese majeste yang ketat, yang melarang kritik terhadap Raja. Dalam laporan Freedom House 2016, media di Thailand disertifikasi sebagai profesi yang tidak memiliki kebebasan.
Namun, dalam 18 bulan terakhir Prandy berani mendobrak batasan-batasan larangan pemerintah dalam pemberitaan surat kabarnya. Ia justru mengaku bangga akan berita keras yang dihasilkan ia dan timnya.
Sebuah editorial yang diterbitkan pada 14 Mei lalu disebut sebagai sumber perselisihan di dalam tubuh Bangkok Post. Surat kabar itu mengkritik larangan pemerintah militer terhadap siaran TV pro-demokrasi. "Larangan itu adalah tindakan sensor yang dilakukan secara terang-terangan dan kurang dipikirkan terlebih dahulu," tulis Bangkok Post.
Prandy baru-baru ini juga menulis surat edaran tentang pemerintah militer Thailand yang mengelola National Council for Peace and Order (NCPO), yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jenderal Prayuth Chan-Ocha. "Momentum perlawanan terhadap pemerintah telah dimulai dan setiap politikus yang pintar serta ahli strategi militer akan merasa sia-sia jika melawan perlawanan itu," kata Prandy.
Ia juga mengkritik insiden editor majalah City Life di Chiang Mai yang hampir dipenjara karena dituduh melakukan penodaan agama. Dalam akun Facebook-nya, majalah itu mengunggah foto tiga Raja Thailand mengenakan masker gas, sebagai protes terhadap masalah polusi di Kota Chiang Mai.
Gubernur Chiang Mai menuduh editornya, Pim Kemasingki, telah melanggar Undang-Undang Kejahatan Komputer. Kemasingki diminta menghapus foto tersebut dan meminta maaf secara terbuka.