REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pejabat yang diindikasi terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) harus diusut. Terutama, para pejabat yang terlibat langsung dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Menurut anggota DPR dari Fraksi Golkar Lili Asdjudiredja, kasus yang menempatkan mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai terdakwa itu amat berkaitan dengan para pejabat berwewenang saat itu.
“Semua harus diperiksa. Tidak apa-apa jika menteri keuangan saat itu juga diperiksa (oleh KPK),” kata Lili di Jakarta, Senin (21/5), menjawab pertanyaan seputar kasus yang menimpa Syafruddin.
Menurut politikus senior Partai Golkar itu, Kementerian Keuangan memiliki wewenang strategis dan taktis untuk memutuskan banyak aspek tentang BLBI. “Makanya, perlu ditelusuri lebih lanjut (oleh KPK) siapa-siapa saja yang terlibat,” ujar Lili.
KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka kasus BLBI pada April 2017. Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI pada 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari menteri keuangan Boediono, menteri koordinator perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti, dan menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI. Berdasarkan audit investigatif BPK, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp 4,58 triliun.