REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Setelah sembilan tahun, parlemen Lebanon akhirnya dibubarkan. Ini membuka jalan bagi majelis baru. Dilansir Aljazirah, Rabu (23/5), legislator yang terpilih dalam pemilihan parlemen 6 Mei lalu dijadwalkan bersidang pada hari ini untuk sesi pertama.
Pada sesi pertama ini mereka diharapkan dapat memilih seorang ketua parlemen baru. Di bawah sistem pembagian kekuasaan sektarian Lebanon, ketua parlemen harus seorang Muslim Syiah, presiden seorang Kristen Maronite dan perdana menteri seorang Muslim Sunni.
Nabih Berri, yang telah menjabat sebagai ketua parlemen sejak 1992, diperkirakan akan diangkat kembali. Setelah posisi itu diisi, ketua akan mengawasi proses untuk memilih seorang wakil parlemen.
Hizbullah, Amal, Future Movement, Progressive Socialist Party dan the March 8 movementtelah menyatakan dukungan mereka untuk Berri. Fokusnya kemudian akan beralih ke posisi perdana menteri.
Menurut sistem politik Lebanon, presiden harus mengadakan konsultasi dengan blok-blok parlemen utama sebelum mencalonkan seorang perdana menteri baru. Pemilihan parlemen, yang pertama dalam sembilan tahun, diikuti oleh 917 kandidat dari berbagai pihak untuk memperebutkan 128 kursi parlemen Lebanon.
Dalam pemilu kali ini, jumlah pemilih hanya 49,2 persen. Gerakan Syiah Hizbullah dan sekutunya unggul dalam pemilu ini. Mereka memenangkan 70 kursi. Future Movement pimpinan Saad Hariri harus kehilangan lebih dari sepertiga kekuatannya.
Tetapi Future Movement tetap menjadi partai terbesar yang dipimpin Sunni dengan 20 kursi. Dalam sebuah wawancara dengan media Lebaon al-Jadeed, Hariri mengatakan keputusan telah diambil untuk membentuk pemerintahan baru dengan cepat.
"Ada keputusan untuk mempercepat pembentukan pemerintah, dan saya pikir sanksi terhadap Hizbullah bisa berdampak positif dan mempercepat kelahiran pemerintah baru," katanya.
Sanksi yang Hariri maksud adalah langkah-langkah yang diberlakukan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Teluk Arab pada 16 Mei untuk Hizbullah, yang menargetkan lima pejabat penting gerakan yang didukung Iran, termasuk Sekretaris Jenderal Hassan Nasrallah.
Langkah itu dikecam oleh Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif, yang mengkritik peran Arab Saudi dalam mendukung sanksi itu sebagai kolusi. "Kolaborasi dengan pelindung AS untuk memberi sanksi pada pasukan pertama untuk membebaskan wilayah Arab dan menghancurkan mitos tak terkalahkan Israel," tulis Zarif di akun Twitter pribadinya.
Namun, pakar politik Lebanon mengatakan saat ini masih belum diketahui apakah sanksi ini akan memainkan peran dalam pembentukan pemerintahan baru.