REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Hamas telah menekankan kepatuhannya pada rekonsiliasi nasional sebagai solusi strategis bagi rakyat Palestina, di bawah pengawasan Mesir. Dilansir Middle East Monitor, Rabu (23/5), seorang sumber resmi di Hamas mengatakan proses rekonsiliasi harus terlebih dahulu membatalkan Dewan Nasional yang diadakan di Ramallah dan membentuk dewan nasional baru di bawah naungan negara Arab. Yakni Mesir.
"Dibutuhkan untuk membentuk dewan nasional atas dasar demokrasi dan sesuai dengan output pertemuan Beirut dan perjanjian Kairo pada 2011," kata sumber itu.
Dia menyebutkan bahwa rekonsiliasi membutuhkan pencabutan segera sanksi Otoritas Palestina yang telah diberlakukan di Jalur Gaza. Pembentukan rekonsiliasi berdasarkan perjanjian 2011 berarti pembentukan praktis pemerintah persatuan nasional sementara dengan tugas yang ditentukan.
Hal ini terutama pemilihan, pembenasan Gaza, mengatur keamanan dan situasi sosial di Jalur Gaza dan Tepi Barat serta mengakhiri perpecahan. "Kami siap mendukung dan memberdayakan pemerintah ini dan kemudian kami dapat mengadakan pemilihan. Kemudian pada akhirnya, kita bersama mayoritas dan minoritas," katanya.
Pada akhir April, Dewan Nasional Palestina (PNC) mengadakan pertemuan reguler pertamanya dalam 22 tahun, di Ramallah di Tepi Barat yang diduduki, dengan partisipasi 10 dari 11 faksi, di tengah pemboikotan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Hamas ikut memboikot pertemuan itu.
Banyak tokoh dan kekuatan politik juga menentang diselenggarakannya Majelis Nasional di wilayah di bawah pendudukan Israel dan tanpa konsensus antara partai-partai Palestina pada program dan keputusannya. Dewan Nasional adalah otoritas legislatif tertinggi yang mewakili orang-orang Palestina di dalam dan di luar Palestina, dan terdiri dari 750 anggota.