REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Delegasi Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) kembali mengadakan pertemuan tingkat tinggi di desa perbatasan Panmunjeom di zona demiliterisasi yang memisahkan kedua negara, Jumat (1/6). Pertemuan ini adalah aktivitas diplomatik terbaru antar-Korea yang dimaksudkan untuk menyelamatkan hubungan keduanya yang sempat kembali menegang.
Korut bulan lalu memutuskan untuk membatalkan pertemuannya dengan Korsel, sebagai bagian dari protes terhadap latihan tempur udara gabungan AS-Korsel. Namun pertemuan mengejutkan pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in pada Sabtu (26/5) kembali mencairkan hubungan kedua negara tersebut.
Pertemuan tingkat tinggi antar-Korea kali ini dipimpin oleh Menteri Unifikasi Korsel Cho Myoung-gyon dan Ketua Komite Reunifikasi Damai Korut Ri Son-gwon. Kedua belah pihak membahas cara untuk menindaklanjuti kesepakatan yang telah dicapai dalam KTT pertama antara Kim dan Moon pada April lalu, termasuk kerja sama militer, olah raga, dan kehutanan.
Dalam pertemuan itu, Korut menyarankan agar para pejabat, politisi, dan sektor swasta dari kedua belah pihak dapat mengambil bagian dalam perayaan KTT antar-Korea pertama. Korsel juga menyerukan dibukanya kembali kantor penghubung kedua negara di kota perbatasan Kaesong, tempat kedua Korea mengoperasikan taman industri bersama-sama sampai penutupannya pada 2016.
Korut menyetujuinya, tetapi taman industri Kaesong memerlukan beberapa perbaikan karena fasilitasnya sudah lama tidak digunakan. Ri sempat menyalahkan Cho karena telah menimbulkan situasi genting yang menyebabkan Korut membatalkan pertemuan dengan Korsel di menit-menit terakhir bulan lalu.
Ri tidak memberikan informasi spesifik, tetapi Pyongyang telah mengecam Seoul karena mengizinkan Thae Yong-ho, mantan diplomat Korut untuk Inggris yang membelot ke Korsel pada 2016, untuk mengadakan peluncuran sebuah buku yang menggambarkan Kim Jong-un sebagai sosok yang tidak sabar, impulsif, dan kasar.
Ri juga menuntut repatriasi puluhan pekerja restoran Korut, yang datang ke Korsel pada 2016 melalui Cina. Ia mengklaim, para pekerja itu diculik oleh Korsel. Namun Seoul mengatakan, mereka memutuskan untuk membelot atas kehendak mereka sendiri.
"Kami tidak berbicara tentang apa yang terjadi di masa lalu. Anda hanya perlu untuk tidak mengulanginya lagi," kata Ri.
"Ini adalah masalah yang sangat serius. Tergantung pada bagaimana opini publik digiring. Ini akan memutuskan apakah Korut dan Korsel akan menciptakan suasana rekonsiliasi dan kerjasama, atau ketidakpercayaan dan konfrontasi," tambah dia.
Cho mengatakan, dia setuju kedua belah pihak harus meningkatkan transparansi atas apa yang dibicarakan dalam pertemuan dan mempercepat upaya untuk meningkatkan hubungan bilateral.