REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Opini wajar tanpa pengecualian (WTP) yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta atas laporan keuangan tahun 2017 dipersoalkan Fraksi PDIP. Pemberian WTP tersebut dirasa aneh dan dinilai tak lepas dari kepemimpinan di pemprov yang dianggap kompromistis.
Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono mempertanyakan sikap BPK terhadap pemprov yang dinilainya berbeda antara saat ini dan sebelumnya. Dia mengatakan, status lahan Sumber Waras yang sampai saat ini belum jelas menunjukkan adanya standar ganda dalam penilaian. Ia pun menilai ini tak lepas dari kepemimpinan di pemprov.
"Ada dua karakter kepemimpinan yang berbeda. Satu, karakter pemerintahan sebelumnya tidak kompromistis. Sementara, pemerintahan sekarang kompromistis, itu saja persoalannya," kata dia saat dihubungi, Ahad (3/6).
Dia berpendapat, perbedaan mendasar kepemimpinan saat ini dan sebelumnya secara prinsip itulah yang membuat penilaian BPK menjadi berbeda. Gembong menilai ada ketidakobjektifan dalam melihat satu objek persoalan. Akibatnya, kata dia, hasil penilaian menjadi berbeda, meski persoalan yang sama secara substansi tak ada yang berubah.
"Kalau pemerintahan dulu kan enggak kompromis. Bahkan, semua ditantang, kasarnya begitu. Karena itu, sekarang BPK juga menjadi lebih lunak (kepada Pemprov DKI sekarang)," ujar Gembong.
Gembong mengakui bahwa selama beberapa tahun Pemprov DKI tak mendapat WTP dari BPK karena persoalan pencatatan aset. Salah satunya adalah terkait lahan di Sumber Waras dan di Cengkareng, Jakarta Barat. Namun, kata dia, dua persoalan itu adalah sedikit dari sekian banyak persoalan dari lama yang terus terakumulasi sampai saat ini.
"Sekian persentase permasalahan itu terselesaikan 57 persen, yang tersisa 43 persen. Karena sudah mendapat 50 persen plus maka itu sudah layak mendapat WTP, mungkin seperti itu jalan pikirannya BPK," ujar dia.
Namun, lanjut Gembong, yang tak boleh dilupakan adalah jasa pemerintah sebelumnya. Perbaikan pencatatan aset ini, menurut dia, pondasinya telah diletakkan sejak era mantan gubernur Joko Widodo dan diteruskan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hingga Djarot Saiful Hidayat.
"Untuk mendapat 50 persen plus itu kan itu buah karya dari pemerintah sebelumnya. Pemerintah sebelumnya membuat pondasi perbaikan terhadap pengelolaan aset DKI Jakarta itu," katanya.
Baca: Anies Raih WTP yang tak Pernah Dirasakan Jokowi dan Ahok.
Pernyataan ini sebangun dan seirama dengan penilaian Ketua DPRD Prasetio Edi Marsudi. Prasetio yang juga politikus PDIP itu menilai, status WTP untuk laporan keuangan tahun 2017 tak lepas dari jasa gubernur sebelumnya. Dalam empat hingga lima tahun terakhir, pemprov sudah melakukan pekerjaan memperbaiki sistem di DKI.
"Perbaikannya enggak instan. Ini ada andil pemerintah sebelumnya. Mudah-mudahan dengan seterusnya nanti Pak Anies menjaga sistem yang sudah ada," ujar dia.
Meski mendapat WTP, status pembelian lahan di Rumah Sakit Sumber Waras memang masih belum jelas. Dua syarat yang pernah diminta BPK agar status WTP bisa diraih, yakni pengembalian dugaan kerugian daerah yang ditaksir sejumlah Rp 191 miliar atau pembatalan jual beli, belum dipenuhi.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga mengakui sampai saat ini rekomendasi BPK agar pengembalian dugaan kerugian keuangan daerah tidak terpenuhi. Namun, pemprov menempuh pilihan kedua, yakni membatalkan transaksi jual beli. Meski pembatalan itu masih dalam proses dan belum terealisasi, WTP tetap diberikan.
Padahal, Sandi pernah menyatakan bahwa persoalan Sumber Waras merupakan big ticket untuk memperoleh status WTP dari BPK dalam laporan keuangan Pemprov DKI. "Tapi (rencana pembatalan jual beli) itu oleh BPK dianggap cukup. Tapi oleh kita tentunya harus ada upaya-upaya lanjutan," kata dia.
Sandi menambahkan, selain Sumber Waras ada pula catatan merah dari BPK, yakni terkait pembelian lahan di Cengkareng Barat yang juga berpolemik pada era Ahok. Ia menyebut, lahan di Cengkareng Barat tersebut sebetulnya tercatat di Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian DKI Jakarta.
Namun, lanjut Sandi, lahan tersebut dicaplok pihak ketiga dan dijual ke Dinas Perumahan DKI. Terkait pembayaran yang dilakukan Dinas Perumahan ke pihak ketiga ini, politikus Partai Gerindra ini mengaku pemprov sedang melakukan upaya hukum.
"Oknum yang mencaplok tanah pemprov ini sudah dilakukan upaya hukum. Nanti Biro Hukum yang akan menjelaskan sampai di mana upaya hukum tersebut," ujar dia.
Kepala Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) DKI Jakarta Achmad Firdaus mengatakan, perbaikan sistem pencatatan aset memang mulai dilakukan sejak kepemimpinan Anies-Sandi. Seluruh aset milik pemprov yang tetap maupun lainnya tercatat di sistem. Semua sertifikat aset, kata dia, wajib didigitalisasi.
"Sehingga, nanti dokumen-dokumen tercatat, ada hard copy-nya, soft copy-nya juga. Aset itu lokasinya di mana, titik koordinatnya jelas. Kemudian, ada foto udaranya," katanya.