REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Mabruroh
Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjamin RUU KUHP tidak akan melemahkan atau mengurangi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, pasal-pasal yang diatur dalam KUHP hanya hal-hal inti saja (core crime).
“Di KUHP hanya mengatur hal-hal yang inti. Ini namanya konsep core crime,” kata anggota Panja RUU KUHP, Taufiqulhadi di Jakarta, Senin (4/6).
Taufiq menjabarkan, core crime merupakan pidana inti atau pasal-pasal yang memuat aturan pokok saja. Misalnya, jika ada seribu pasal dalam UU Tipikor, hanya satu atau dua pasal yang dimasukkan ke dalam KUHP.
Alasannya, kata Taufiq, supaya UU Tindak Pidana Korupsi masih terkait dengan KUHP. Untuk pelaksanaannya, UU Tipikor yang selama ini menjadi pedoman KPK tetap bisa digunakan sebagaimana biasanya.
Pasal korupsi, kata dia, dimasukkan ke dalam KUHP lantaran konstitusi hukumnya adalah hukum pidana sehingga harus terkait dengan KUHP. “Core crime itu sebuah konsep untuk mengaitkan undang-undang tertentu yang intinya dari undang-undang tersebut diambil, lalu dimasukkan ke dalam KUHP,” ujarnya.
Dia pun menegaskan, RUU KUHP tidak akan melemahkan keberadaan KPK. Jika masih ada yang berpendapat demikian, Taufiqulhadi menilai hal itu hanya kekhawatiran yang tidak berdasar.
KPK tegas menolak Pasal 1 angka 1 dalam RKUHP. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebutkan terdapat sejumlah persoalan yang dianggap berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan jika tindak pidana korupsi masuk ke dalam KUHP.
Ia menyinggung tentang kewenangan kelembagaan KPK, karena Undang-Undang KPK menentukan bahwa mandat KPK itu adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
“Itu tegas, jadi kalau nanti masuk di dalam KUHP Pasal 1 angka 1 itu, Undang-Undang KPK apakah masih berlaku atau tidak? Apakah bisa KPK menyelidik, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi, karena itu bukan Undang-Undang Tipikor lagi, tetapi undang-undang dalam KUHP,” kata Syarif.
Penolakan KPK tersebut mendapatkan dukungan dari sejumlah aktivis dan LSM antikorupsi. Menurut Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter, penolakan KPK terhadap pasal tersebut masuk akal. Alasannya, penolakan semata-mata untuk menyelamatkan rumahnya yang selama ini sebagai lembaga antirasuah.
“Penolakan KPK masuk akal, ya, karena bagaimanapun kalau tindak pidana korupsi masuk RKUHP, KPK jadi kehilangan kekhususannya,” ujar Easter.
Easter melanjutkan, jika DPR berkeras mengesahkan RKUHP, KPK akan kehilangan kewenangan, khususnya dalam memburu para koruptor. Sebab, KPK yang selama ini khusus menangani tindak pidana korupsi akan disamakan dengan tindak pencurian, perampokan, dan penganiayaan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menegaskan pemerintah tidak berkeinginan menghilangkan peran KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. “Kan sudah berkali-berkali rapat dengan BNN, dengan BNPT, dengan KPK sudah berkali-kali. Ini suuzan saja seolah-olah kita ada rencana membubarkan KPK,” ujar Yasonna.
Menurut Yasonna, kewenangan KPK tetap berlaku meski ada ketentuan delik tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP dengan ketentuan lex specialis-nya, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Jadi, terserah KPK. Pakailah lex specialis. Namanya lex specialis, jika ada ketentuan yang umum, kemudian ada ketentuan khusus, ya, yang dipakai yang khususlah,” ujar Yasonna.
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Indrayanto Seno Adji menilai protes KPK sangat beralasan. Sebab, apabila masuk dalam UU KUHP, tindak pidana korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) dan seriousness crimes (kejahatan serius) seperti sebelumnya.
“Dalam hal delik tipikor sebagai karakter hukum pidana khusus diakseskan ke dalam KUHP, maka delik tipikor bukan lagi dianggap sebagai extraordinary maupun seriousness crimes, tetapi hanya dianggap sebagai ordinary crimes (kejahatan biasa—Red) yang berdampak pada kewenangan lembaga penegak hukum,” ujar Indrayanto.
(fauziah mursid/idealisa masyrafina, Pengolah: eh ismail)