REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) menilai ada tiga hal yang harus menjadi perhatian ihwal kebijakan pemberian tunjangan hari raya (THR) untuk pegawai honorer. Menurut Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng, yang pertama adalah soal kejelasan status honorer.
"Sebab, apabila bicara tentang UU Manajemen ASN, hanya ada dua pegawai pemerintah, yakni PNS dan P3K (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Regulasi tersebut tidak mengenal istilah honorer, tenaga kontrak. Dengan segala rasa hormat, pemerintah hanya membuat mereka terkatung-katung statusnya," kata Robert, Rabu (6/6).
Robert mengatakan apabila pemerintah selesai bicara soal status, maka bisa bicara ihwal hak keuangan. Menurut dia, apabila pemerintah membayar tujangan hari raya pada honorer, artinya ada pengakuan terhadap mereka. Sementara di sisi lain, pemerintah tak mengaku honorer adalah bagian dari ASN.
Kedua, ia mengingatkan, pada praktiknya, honorer dibayar melekat pada kegiatannya. Ia mencontohkan, honor untuk pramubakti dan satpam dibayar berdasarkan kegiatannya.
"Kalau honorer dapat THR, bahasanya apa? Karena selama ini, honorer dapat uang dari kegiatan," kata dia.
Ketiga, ia mempertanyakan, apakah daerah mempunyai uang membayar tenaga honorer? Ia mengingatkan jangan berpikir semua daerah mempunyai kapasitas keuangan yang besar.
Terkait kebijakan pemberian THR bagi honorer pusat, Robert menilai hal itu hanya mengacaukan polemik THR dan tunjangan saja. Selain itu, menurut dia, hal itu menjadi bentuk deskriminasi antara honorer pusat dan daerah.
Ia beranggarap, dari sisi logika anggaran, kebijakan itu tidak benar. Ia menegaskan, selama ini honor melekat pada kegiatan.
"Tidak ada mata anggaran honorer di APBN atau APBD. Mereka sub dari suatu kegiatan," tutur Robert.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengingatkan pemerintah daerah untuk tidak membayarkan tunjangan hari raya (THR) kepada pegawai honorer. Ini karena dasar hukumnya tidak cukup.
Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengungkapkan bahwa ada beberapa pemda yang meminta izin kementerian untuk memberikan THR pada honorer.
"Saya tidak berani (mengizinkan) walaupun ada daerah yang minta izin bayar honorer. Jadi, di sisi lain ada pemda yang ingin lebih dari itu pengeluarannya. Untuk honorer," ungkap Syarifuddin kepada Republika.co.id, Selasa (5/6).
Ia menjelaskan, seluruh transaksi keuangan yang terdapat dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) memiliki payung hukum. Hal ini tidak berlaku untuk pemberian THR kepada pegawai honorer daerah sehingga ia menegaskan agar pemda tidak melakukannya.
"Kami Kemendagri selaku pembina keuangan daerah perlu mengembalikan ke normanya. Ada dasar hukumnya? Kalau dasar hukum tidak cukup, ya jangan. Berkaitan dengan honorer ini belum cukup payung hukumnya untuk dilakukan pengeluaran dalam APBD," katanya.