Oleh: DR Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia.
Setahun setelah menjabat sebagai kepala BP Ideologi Pancasila (dulu UKP- PIP), Yudi Latif mengundurkan diri. Bukan isu mundur itu benar yang membuat prihatin. Selama setahun berdiri, yang terdengar di publik mengenai badan sepenting itu, yang mengelola ideologi negara, bukan sebuah gagasan atau visi.
Yang nyaring terdengar: para pimpinan berbulan bulan tak terima gaji. Lalu berbalik, gaji beberapa pimpinan lebih besar dibanding gaji presiden yang di atas seratus juta. Presiden Jokowi minta maaf kepada Megawati soal isu gaji.
Publikpun ramai merespons lahirnya BP Ideologi Pancasila. Namun sekali lagi, isu yang ramai itu bukan perdebatan gagasan atau visi soal Pancasila di era global. Bukan bagaimana Pancasila menghadapi sejarah manusia yang tengah berubah. Yang ramai adalah pro dan kontra soal gaji pengelola Pancasila.
Publikpun belum benar-benar mengenal bagaimana tafsir lembaga BP ideologi Pancasila itu terhadap Pancasila. Ada tiga sosok penting di sana: Yudi Latif selaku intelektual yang menjadi kepala eksekutifnya. Tapi ada pula Megawati yang menjadi kepala Pembinanya. Ada pula Jokowi yang menjadi presiden.
Sudahkah ada tafsir Pancasila yang baku yang akan diterapkan? Atau lembaga ini masih dalam taraf merumuskan? Bisa jadi tafsir Yudi Latif atas Pancasila berbeda dengan tafsir Megawati? Yang mana yang akan dipilih Presiden? Bagaimana jika presiden mempunyai pula tafsirnya sendiri?
Di balik mundurnya Yudi Latif, justru isu ini yang lebih penting. Tafsir Pancasila siapa yang akan berkuasa? Pengganti Yudi Latif pastilah segera ketemu. Tapi tafsir Pancasila bagaimana yang akan diterapkan?