REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo mengaku heran dengan kehebohan atas masuknya Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (ATT DK PBB) 2019-2020. Padahal Indonesia sudah beberapakali menjadi anggota, dan peran ATT DK PBB sangat terbatas.
Dradjad mengatakan terpilihnya Indonesia menjadi ATT DK PBB 2019-2020 tentu patut diapresiasi. "Selamat kepada Menlu Retno LP Marsudi beserta seluruh diplomat dan pelobi Indonesia,” kata Dradjad, kepada Republika.co.id Sabtu (9/6).
Namun demikian, menurut Dradjad, hal itu juga harus proporsional secara proporsional. Pemberitaan oleh Kemenlu, khususnya dengan memunculkan opini bahwa ini adalah keberhasilan hebat, menurutnya, sudah berlebihan. "Melebihi proporsinya."
Dradjad mengatakan, ATT DK PBB itu peranannya sangat terbatas. Untuk masalah prosedural, mereka bisa berperan. Tapi untuk masalah substansial, hanya jika tidak ada veto dari salah satu dari lima anggota tetap DK PBB, baru mereka bisa berperan.
"Ini biasanya terjadi untuk isu dan konflik yang dinilai kurang strategis atau penting,” ungkapnya.
Namun untuk isu dan konflik yang sangat strategis dan penting, seperti kemerdekaan Palestina, kata Dradjad, ATT DK PBB tidak berkutik menghadapi veto AS. Padahal penderitaan rakyat Palestina ini sangat mendalam dirasakan oleh rakyat Indonesia.
"Ini adalah isu yang krusial bagi rakyat Indonesia. Isu ini sangat besar efek spiralnya terhadap masalah lain di Indonesia seperti radikalisme dan terorisme,” papar politikus senior PAN ini.
Selain itu, menurut Dradjad, sejak 1946 hingga saat ini ada 126 negara yang pernah menjadi ATT DK PBB. Indonesia sendiri sudah pernah menjadi ATT DK PBB tiga kali, tahun 1973-74, 1995-96 dan 2007-08.
"Jadi, benar bahwa untuk menjadi ATT DK PBB harus memenangkan pemilihan. Namun sudah 126 negara yang pernah “menang” seperti ini,” ungkapnya.
Mengenai banyaknya negara yang menjadi ATT DK PBB, Dradjad mengatakan, susunan 10 ATT DK PBB itu dijatah berdasarkan geografi. Yaitu, tiga dari Afrika, dua dari Asia, dua dari Amerika Latin dan Karibia, dua dari Eropa Barat dan grup lain, satu dari Eropa Timur.
Setiap tahun, dipilih lima ATT DK PBB. Jadi Indonesia akan bersaing dengan negara Asia lain untuk terpilih, dalam kasus ini adalah Maladewa. Lobinya adalah, meyakinkan semua anggota PBB bahwa Indonesia lebih baik dari Maladewa.
"Perlu diingat, saat ini Maldives sedang dilanda ketidakstabilan politik dan keamanan yang serius. Jadi petanya relatif mudah dibaca,” papar Dradjad.
Dengan dua alasan itu, euforia yang dimunculkan Kemenlu adalah pencitraan yang berlebihan. "Berhasil, iya. Patut diapresiasi, iya. Tapi jangan berlebihanlah pencitraannya. Karena, hal ini justru merusak keberhasilan itu sendiri. Dulu-dulu juga berhasil, tapi tidak heboh-heboh amat,” kata Dradjad.