Sabtu 07 Jul 2018 07:49 WIB

BMKG: Suhu Dingin Bukan Pengaruh Fenomena Aphelion

Kandungan uap di atmosfer yang sedikit membuat penurunan suhu.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Cuaca dingin. Ilustrasi
Foto: BBC
Cuaca dingin. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suhu udara dingin yang dirasakan di beberapa daerah seperti Bandung, Sukabumi, Malang, dan Dieng saat musim kemarau dinilai bukan pengaruh fenomena aphelion. Suhu dingin biasa terjadi pada bulan puncak musim kemarau yakni Juli-Agustus.

Berdasarkan pengamatan BMKG di seluruh wilayah Indonesia selama 1-5 Juli 2018, suhu udara kurang dari 15 derajat Celcius tercatat di beberapa wilayah yang seluruhnya berada di dataran tinggi atau kaki gunung seperti Ruteng (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Pasuruan). Suhu terendah pada wilayah itu, tercatat di Ruteng (NTT) yakni 12 derajat Celcius pada 4 Juli 2018. Sementara itu, untuk wilayah lain di Indonesia selisih suhu terendah selama awal Juli 2018 ini terhadap suhu terendah rata-rata selama 30 hari terakhir ini tidak begitu besar.

Menurut Deputi Bidang Meteorologi, Mulyono R. Prabowo, sebenarnya fenomena aphelion atau bumi berada di titik paling jauh dari matahari merupakan fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran Juli. Sementara itu, pada waktu yang sama, secara umum wilayah Indonesia berada pada periode musim kemarau.

"Nah, hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia," ujar Mulyono dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (7/7).

Padahal, kata dia, pada faktanya, penurunan suhu pada Juli belakangan ini lebih dominan disebabkan dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT kandungan uap di atmosfer cukup sedikit. Hal itu terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir.

Secara fisis, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer tersebut menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer. Energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi menjadi tidak signifikan.

"Hal inilah juga yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan," ujarnya.

Selain itu, pada Juli ini wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia (yang dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia) semakin signifikan sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara yang cukup signifikan pada malam hari di wilayah Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT.

Dalam kesempatan yang sama Deputi Bidang Klimatologi, Herizal menyampaikan, fenomena suhu dingin malam hari dan embun beku di lereng pegunungan Dieng lebih disebabkan kondisi meteorologis dan musim kemarau yang saat ini tengah berlangsung. Pada saat puncak kemarau, memang umumnya suhu udara lebih dingin dan permukaan bumi lebih kering.

"Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa. Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin dari pada suhu udara musim hujan," ujar Herizal.

Selain itu kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara.

Pada kondisi puncak kemarau saat ini di pulau Jawa, beberapa tempat yang berada pada ketinggian, terutama di daerah pegunungan, diindikasikan akan berpeluang untuk mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0°C. Hal itu disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan, lebih-lebih pada saat cuaca cerah tidak tertutup awan atau hujan.

"Uap air di udara akan mengalami kondensasi pada malam hari dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput," kata dia. Air embun yang menempel dipucuk daun atau rumput akan segera membeku yang disebabkan karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau nol derajat.

"Di Indonesia, beberapa tempat pernah dilaporkan mengalami fenomena ini, yaitu daerah dataran tinggi Dieng, Gunung Semeru dan pegunungan Jayawijaya, Papua,” tambah Herizal.

Hal tersebut di atas menunjukkan fenomena aphelion tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan suhu di Indonesia. Sehingga diharapkan masyarakat tidak perlu khawatir secara berlebihan terhadap informasi yang menyatakan akan terjadi penurunan suhu ekstrem di Indonesia akibat dari aphelion.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement