REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belanja subsidi energi diyakini akan membengkak melebihi pagu anggaran yang sebelumnya ditetapkan di APBN 2018. Pemerintah memproyeksikan belanja subsidi energi akan mencapai Rp 163,5 triliun atau melonjak 73 persen dari pagu di APBN 2018 yang sebesar Rp 94,5 triliun. Artinya, anggaran subsidi energi lebih tinggi Rp 69 triliun dari pagu anggaran tersebut.
"Kita hitung berdasarkan jumlah subsidi yang sudah ada pada semester pertama dan juga perbedaan harga diesel terhadap yang ditetapkan dengan harga yang berlangsung. Kita bahas bersama Menteri ESDM dan BUMN, beserta Pertamina dan PLN untuk melihat kondisi keuangan mereka," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di kompleks parlemen, Jakarta pada Selasa (17/7).
Seperti diketahui, pemerintah menaikkan subsidi BBM jenis solar dari Rp 500 per liter menjadi Rp 2.000 per liter. Ia mengatakan, kenaikan subsidi BBM untuk menjaga neraca keuangan Pertamina. "Kita melihat operasional dari sisi potensi keuntungan baik dari hulu maupun dari kegiatan hilir yang berkaitan dengan subsidi," kata Sri.
Realisasi penyaluran subsidi energi pada semester pertama 2018 mencapai Rp 59,5 triliun atau 63 persen dari pagu anggaran. Dengan adanya proyeksi kenaikan penyaluran subsidi energi maka total proyeksi belanja untuk subsidi adalah Rp 228,1 triliun. Sementara, total belanja negara diproyeksikan mencapai Rp 2.217,2 triliun atau 99,8 persen dari pagu belanja Rp 2.220,7 triliun.
"Secara overall, policy ini untuk menjaga daya beli masyarakat dan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Ini juga untuk menjaga stabilitas terutama karena ada tekanan cukup besar sehingga tetap bisa menjaga confidence," kata Sri.
Sebagaimana diketahui, kenaikan belanja subsidi tak terlepas dari melonjaknya harga minyak mentah dunia. Minyak dunia saat ini sudah berada di atas 70 dolar AS per barel. Di sisi lain, nilai mata uang rupiah cenderung merosot terhadap dolar.
Sementara itu, Bahan Bakar Minyak (BBM) nonpenugasan jenis Pertalite dan Dexlite di wilayah pemasaran Sumatra Barat mengalami kenaikan Rp 200 per liter per Senin (16/7) kemarin. Pertalite dan Dexlite kini dijual dengan harga per liternya masing-masing Rp 8 ribu dan Rp 9.200.
Realisasi Subsidi BBM. Pengunjung mengisi BBM subsidi solar di SPBU COCO Pertamina, Selasa (16/1).
Naiknya dua jenis BBM nonsubsidi tersebut merupakan buntut dari penerapan Peraturan Daerah (Perda) terkait kenaikan besaran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang semula 5 persen menjadi 7.5 persen.
Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito menegaskan penyesuaian harga hanya terjadi di Provinsi Sumatra Barat. Sementara wilayah lain tidak ada perubahan harga.
"Penyesuaian harga karena kenaikan PBBKB untuk Bahan Bakar Khusus (BBK) di Sumbar yang menjadi kewenangan Pemda setempat. BBK jenis lainnya di wilayah tersebut juga akan terdampak dan sejauh ini dalam proses review," katanya, Selasa (17/7).
Baca juga, 40 Ribu Kiloliter Premium Terjual di Sumbar Selama Puasa.
Manager Comrel Pertamina MOR I, Rudi Ariffianto, menambahkan bahwa PBBKB adalah salah satu faktor pembentuk harga jual dari BBM, termasuk BBK. Pada prinsipnya, komponen pajak yang berkaitan dengan harga jual BBK adalah PPN dan PBBKB.
PPN yang ditetapkan pemerintah pusat adalah 10 persen sedangkan PBBKB ditetapkan oleh masing-masing Pemda bervariasi yakni antara 5 persen, 7,5 persen, dan ada juga yang 10 persen. Sumbar sendiri baru saja menaikkan PBBKB dari 5 persen menjadi 7,5 persen.