REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap sebagai tersangka suap terkait proyek-proyek di lingkungan Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, tahun anggaran 2018. Selain Bupati Pangonal, KPK juga menetapkan Umar Ritonga selaku pihak swasta dan Effendy Syahputra selaku pemilik PT Binivan Konstruksi Abadi (BKA).
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dengan menetapkan tiga tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung KPK Jakarta, Rabu (18/7) malam.
Saut menuturkan, Pangonal dan Umar diduga menerima Rp 500 juta dari Effendy terkait dengan proyek yang didapat PT Binivian. Diduga uang tersebut berasal dari dana pembayaran proyek pembangunan RSUD Rantau Prapat, Kabupaten Labuhanbatu.
Dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan tim KPK pada Selasa (18/7), tim penindakan KPK turut menyita bukti transaksi sebesar Rp576 juta. Diduga uang tersebut merupakan bagian dari pemenuhan dari permintaan bupati sekitar Rp 3 miliar.
Atas perbuatannya, Pangonal dan Umar dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Effendy dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK kini dalam posisi mencari Umar Ritonga (UMR). "Terhadap UMR yang saat ini masih 'going somewhere' agar segera menyerahkan diri ke KPK. Pihak-pihak yang mengetahui keberadaan UMR dapat menghubungi telepon Kantor KPK di nomor 021-25578300," kata Saut Situmorang.
Umar Ritonga adalah orang kepercayaan Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap yang melarikan diri saat akan diamankan tim KPK pada Operasi Tangkap Tangan (OTT) Selasa, 17 Juli 2018. Umar ditugaskan oleh Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap untuk mengambil cek senilai Rp 576 juta dari petugas BPD Sumatera Utara berinisial H. Cek itu berasal dari pemilik PT Binivan Konstruksi Abadi Effendy Sahputra.
Sebelumnya, Effendy orang kepercayaannya AT untuk bertemu di BPD Sumut dengan modus "menitipkan uang" yang sudah disepakati dengan H.
"Setelah AT melakukan penarikan sebesar Rp 576 juta, kemudian sebesar Rp 16 juta diambil untuk dirinya sendlri dan Rp61 juta ditransfer ke ES (Effendy Sahputra), serta Rp 500 juta dalam tas kresek dititipkan pada petugas bank dan kemudian pergi meninggalkan bank," ungkap Saut.
Sekitar pukul 18.15 WIB, Umar kemudian datang ke bank dan mengambil uang Rp 500 juta tersebut pada petugas bank, dan membawa keluar dari bank. "Namun UMR tidak kooperatif. Di luar bank tim menghadap UMR untuk memperlihatkan tanda pengenal KPK. UMR melakukan perlawanan dan hampir menabrak pegawai KPK yang sedang bertugas saat itu," tambah Saut.
Saat itu kondsi hujan dan sempat terjadi kejar-kejaran antara mobil tim KPK dan UMR hingga kemudian UMR diduga berpindah-pindah tempat, sempat pergi ke lokasi kebun sawit dan daerah rawa di sekitar lokasi tim memutuskan untuk mencari pihak lain yang juga diamankan dalam kasus ini.
"Sekali lagi, KPK mengingatkan pada seluruh kepala daerah dan penyelenggara negara agar menghentikan perbuatan korupsi dan kepada pihak penguasa agar melakukan usaha secara sehat dan bersih, serta menetapkan prinsip-prinsip antikorupsi dalam korporasinya," ungkap Saut.
Sementara kepada pihak perbankan, dalam kasus ini pegawai dari BPD Sumut, agar menerapkan prinsip integritas dan Customer Due Diligence (CDD) yang jauh lebih ketat di internal masing-masing, agar modus serupa yang bekerja sama dengan pihak perbankan tidak perlu terjadi lagi.
"Uang masih di tangan UMR jadi ketika tim mencoba menghentikan mobil yang dikendarai UMR, pihak yang mengendarai mobil langsung melarikan diri dan hampir menabrak pegawai KPK, uang dalam kresek hitam masih di sana," tambah Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Namun menurut Febri, barang bukti yang diamankan yang terkonfirmasi adalah bukti penarikan uang dan mengamankan pihak pegawai bank yang ada di sana dan bukti-bukti lain yang tidak meragukan KPK bahwa ada transaksi dengan modus seperti itu terjadi di Labuhanbatu.