Selasa 07 Aug 2018 02:15 WIB

Psikolog: Korban Gempa Perlu Diberi Dukungan Psikososial

Takut dan cemas merupakan reaksi yang wajar pascabencana.

Rep: Idealisa Masyafrina/ Red: Muhammad Hafil
Anggota Dit Samapta Polda NTB melaksanakan evakuasi korban gempa bumi yg ditemukan tertimpa reruntuhan bangunan di Dusun papak, Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lotara, Senin (6/8).
Foto: Dok Humas Mabes Polri
Anggota Dit Samapta Polda NTB melaksanakan evakuasi korban gempa bumi yg ditemukan tertimpa reruntuhan bangunan di Dusun papak, Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lotara, Senin (6/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musibah bencana alam kembali melanda negeri ini. Kali ini Lombok yang mengalami gempa besar untuk kedua kalinya dalam kurun waktu yang singkat. Gempa berkekuatan 7,0 skala richter yang terjadi pada Ahad (5/8) malam telah menimbulkan luka yang mendalam bagi masyarakat Lombok.

Tidak hanya rumah-rumah dan bangunan yang mengalami kerusakan, tapi banyak yang mengalami luka-luka hingga korban tewas. Sebelumnya, gempa juga terjadi di Gunung Rinjani Lombok dengan kekuatan 6,4 skala richter Ahad (29/7).

Bencana seperti ini akan menimbulkan trauma yang mendalam bagi para korban. Psikolog Klinis Kasandra Putranto menjelaskan bahwa dalam penanggulangan bencana juga penting disiapkan dukungan untuk menangani trauma korban.

"Memang sebagai bagian dari penanggulangan bencana harus ada dukungan medis dan psikososial. Termasuk penanganan trauma," ujar Kasandra kepada Republika.co.id, Senin (6/8).

Kasandra menjelaskan, dari berbagai kejadian bencana seperti tsunami Aceh, gempa Padang, longsor, gunung meletus dan lainnya, yang menimbulkan gangguan stres pascatrauma (post traumatic stress disorder/ PTSD) antara lain gejala-gejala fisik dan psikologis berupa kecemasan dan ketakutan akan kejadian yang pernah dialami.

PTSD ditandai dengan kondisi stress dan cemas walaupun tidak ada Bahaya lagi.

Korban akan mengalami jantung berdebar, keringat dingin, sulit tidur, mudah kaget, dan sebagainya.

Menurut Kasandra, pada dasarnya setiap orang mengalami reaksi yang wajar pascabencana, seperti takut dan cemas. Biasanya penanganan psikologis pasca bencana justru tidak dilakukan langsung, karena gerakan PTSD baru muncul beberapa waktu setelahnya.

"Gangguan PTSD muncul ketika proses pemulihan berlangsung lama atau tidak segera pulih," kata Kasandra.

Tidak semua orang yang mengalami trauma mengembangkan PTSD kronis (berkelanjutan) atau akut (jangka pendek). Umumya reaksi yang wajar adalah dalam masa 1 bulan, kata dia, namun jika lewat dari 1-3 bulan berarti mulai muncul gejala PTSD.

Minimal dalam masa satu bulan korban satu kali mengalami gejala, satu kali ada gejala menghindar, dua kali gejala terstimulasi dan reaktivasi, serta dua kali gejala kognisi dan mood terkait. "Setidaknya ada dua gejala yang dialami korban," imbuhnya.

Untuk menangani kondisi trauma pasca bencana ini, kata Kasandra, diperlukan assessment terlebih dahulu untuk dapat menentukan jenis intervensi yang dibutuhkan. Berbagai teknik intervensi yang umum digunakan adalah medikasi dan psikoterapi antara lain terapi kognitif dan perilaku (Cognitive Behavior Therapy) dan metode intervensi berbasis tubuh, eye movement desensitization and reprocessing (EDMR). Praktiknya dilakukan oleh seorang dokter yang membantu pasien meninjau kembali dan membingkai ulang peristiwa traumatik. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement