REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indef Andry Satrio Nugroho menilai adanya kepastian peraturan untuk industri teknologi berbasis finansial (fintech) atau tekfin, dapat membantu pencapaian sasaran inklusi keuangan sebesar 75 persen pada 2019.
Andry dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu (15/8), menyebutkan industri tekfin bisa menjadi salah satu senjata untuk meningkatkan literasi masyarakat terhadap sistem keuangan, terutama di daerah.
Namun, ekosistem tekfin saat ini belum sepenuhnya mendukung untuk mendukung pertumbuhan industri tersebut, salah satunya karena belum adanya peraturan yang baku.
"Kalau misalnya ada peraturan yang bertabrakan, ini mempengaruhi fintech, dan fintech ini tidak bisa bekerja optimal untuk melakukan inklusi keuangan yang sedang digiatkan," ujar Andry.
Sebelumnya, OJK sudah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi, meski belum terlalu mendetail untuk mendukung pertumbuhan tekfin.
Untuk itu, saat ini sedang dilakukan penyusunan draf pernyataan dari penyelenggara tekfin yang beberapa poin utamanya bertentangan dengan peraturan dari OJK.
Beberapa di antaranya mencakup pembatasan suku bunga tekfin agar tidak lebih dari perbankan, perusahaan pembiayaan, koperasi maupun lembaga keuangan mikro. Padahal OJK tidak mengatur secara spesifik mengenai batas maksimal bunga kredit dalam fintech lendin.
"Jika ada pembatasan bunga, itu terasa kontradiktif dengan peraturan OJK. Kalau tidak ada sinergi antara kebijakan, kedepannya, pemain yang ingin mengembangkan fintech menjadi ragu-ragu," ujar Andry.
Selain itu, penyelenggara layanan jasa keuangan tidak diperkenankan mengenakan denda atau kewajiban finansial lainnya terhadap penerima pinjaman dengan akumulatif bersih melebihi 20 persen dari nilai pokok pinjaman. Terdapat juga kewajiban pelaporan informasi secara mendetail mengenai nasabah penunggak kredit dalam pusat data layanan informasi tekfin yang dibangun penyelenggara tekfin dan dilaporkan kepada OJK.
Penyelenggara layanan jasa keuangan juga harus melaporkan identitas pihak yang melakukan penagihan kepada OJK paling minimal tiga bulan sekali, termasuk melarang untuk memperkerjakan orang-orang yang pernah terpidana.
Menurut Andry, berbagai peraturan ini bisa membuat iklim inovasi tekfin dapat tergerus dan menimbulkan keragu-raguan dari konsumen yang ingin mendapatkan layanan dari jasa keuangan berbasis teknologi.
Untuk itu, ia menyarankan otoritas terkait untuk mengatur regulasi yang belum terakomodasi bagi penyelenggara tekfin agar iklim industri menjadi lebih kondusif. Contohnya dengan memfasilitasi penyelenggara tekfin dengan pihak perbankan karena saat ini banyak perbankan yang menaruh dana di tekfin untuk mendukung penyaluran pinjaman mikro.
"Butuhnya regulasi yang seperti itu, bukan regulasi yang bertolak belakang dengan regulasi lainnya," ujarnya.