REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan dalam teguran, yang jarang dilakukan, ia menginginkan Cina memikirkan kembali perilakunya di Laut Cina Selatan. Selain itu, Duterte juga mengatakan negara itu tak memiliki hak mengusir pesawat dan kapal asing, yang melintasi pulau buatannya di perairan itu.
Duterte berharap Cina akan melunakkan sikapnya dan menghentikan pembatasan pergerakan, yang dapat mengarah kepada bentrokan, barangkali dengan sekutunya yang terikat perjanjian, Amerika Serikat. Menurut dia, Filipina berada cukup dekat dengan bahaya.
Cina, Taiwan, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei saling mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly. Di kepulauan tersebut, Cina mengubah dengan cepat kepulauan karang menjadi pulau buatan, yang tampaknya digunakan untuk sarana militer. Dari sana tentaranya secara berkala memerintahkan kapal asing menjauh.
"Mereka harus mempertimbangkan kembali karena itu akan jadi titik api suatu saat," kata Duterte dalam pidato pada Selasa malam (14/8).
Aktivitas pembangunan pulau buatan di terumbu karang Mischief Reef di wilayah Kepulauan Spratly.
"Anda tak dapat menciptakan sebuah pulau. Ini buatan manusia dan Anda katakan ruang udara di atas pulau buatan ini milik Anda. Ini salah karena perairan itu yang kami pandang laut internasional. Dan hak untuk perlintasan dijamin," katanya.
Kementerian Luar Negeri Cina tidak menanggapi segera permintaan untuk berkomentar. Duterte memiliki kebijakan mengikat hubungan dengan Cina, dengan harapan memperoleh miliaran dolar sebagai bantuan, pinjaman dan penanaman modal, dan telah menolak kritik ia menyetujui tekanan Cina atau menyerahkan kedaulatan Filipina.
Ia tak menyalahkan Cina, yang membangun dan mendirikan sarana militer di perairan sengketa tersebut. Sebaliknya, ia mengatakan Amerika Serikat berbuat salah karena menghalangi pembangunan ketika wilayah tersebut mulai digarap.