REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang merupakan negara yang sangat maju dalam teknologinya termasuk dalam bidang Financial Technology (FinTech). Bahkan, potensi fintech di 'negeri sakura' ini pun dinilai cukup menjanjikan.
Untuk itulah, rombongan Pejuang Dakwah Ekonomi Islam dari STEI Tazkia yaitu di antaranya Ketua STEI Tazkia, Murniati Mukhlisin, Direktur Pascasarjana Mukhamad Yasid, Pembina Perpustakaan STEI Tazkia Ade Susilowati, Direktur Program Internasional Anita Priantina, Kepala Program Studi Bisnis dan Manajemen Syariah Thuba Jazil dan Kepala Program Studi Akuntansi Syariah Grandis Imama Hendra, tiba di Tokyo, Selasa (26/6) kemarin.
Menurut panitia romongan Ade Juraynaldi didampingi Ratna Komalasari, kunjungan selama lima hari di negeri matahari terbit ini, bertujuan untuk beberapa agenda penting. Yaitu, kerja sama pelaksanaan internasional seminar dengan Reitaku University di kota Kishiwada, kunjungan ke YUAI International Islamic School di Tokyo, silaturrahim dengan KBRI Jepang, dan halal bil halal dengan komunitas Muslim Jepang di Mesjid Indonesia Tokyo.
Seminar yang dihadiri oleh para guru besar, dosen dan mahasiswa dari Tazkia dan Reitaku ini membahas sebuah tema yang menarik dan terkini yaitu "Business Ethnic & Digital Economy; from Concept to Practice”. Ini mengingat Jepang merupakan negara yang sangat maju dalam teknologinya termasuk dalam bidang Financial Technology (FinTech).
Diawal seminar, Daisuke Suzuki, dosen senior di Universitas Reitaku membuka acara seminar dan guru besar bidang ekonomi, Yasunori Baba membawakan topik pertama tentang bagaimana manusia berlaku ketika berada dalam era mesin pandai seperti saat ini. Baba mengatakan, bahwa manusia perlu dibentengi dengan konsep moral seperti dari kepercayaan Shinto dan Budha.
Menurut Baba, moral adalah hal penting di Reitaku yang ditekankan oleh pendiri kampus Reitaku yaitu Dr. Chikuro Hiroike (1866-1938). Hiroike yang dikenal sebagai “Father of Moralogy” ini yang mengatakan bahwa pendidikan harus diberikan kepada pelajar dengan aplikasi integritas, moral dan etika yang tinggi.
Dalam keterangannya yang disampaikan kepada Republika.co.id, Kamis (28/6), Murniati memaparkan tentang pentingnya rambu-rambu syariah untuk memastikan etika dan moral dalam bisnis di era ekonomi digital seperti saat ini. Kemudian Ketua STEI Tazkia itu menjelaskan, tentang perkembangan bisnis FinTech syariah dengan studi kasus Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Menurutnya, potensi FinTech di Jepang cukup menjanjikan yang menurut Accenture telah meleburkan investasi sebesar 154 juta dolar Amerika pada tahun 2016 yang lalu. Investor utama dalam bidang FinTech dunia didominasi oleh Cina sebesar 10 triliun dolar disusul oleh India 500 juta dolar Amerika pada tahun yang sama.
Murniati yang juga Pembina Asosiasi FinTech Syariah Indonesia menganalisa, bahwa modal crowdfunding dari Jepang dapat dikirim ke negara Muslim dengan sistem syariah seperti yang dilakukan Singapura saat ini. "EthisCrowd perusahaan FinTech Syariah asal Singapura misalnya mengelola investasi dari para investor Singapura untuk membiayai proyek perumahan di Indonesia," ujarnya.
Adapun Thuba Jazil membawakan tema etika bisnis Islam: teori ke praktik. Dalam pemaparannya, Islam mengatur semua aspek kehidupan Muslim baik dalam hal peribadatan maupun sosial, termasuk juga bisnis. Terdapat minimal tujuh prinsip dasar dalam etika bisnis islam yaitu tauhid, tanggungjawab, keadilan, ihsan (berlaku baik), hurriyah (kebebasan), orientasi halal dan haram, dan berlaku ma'ruf. Ketujuh prinsip tersebut harus diterapkan dalam transaksi Islam baik sebagai pebisnis, penjual, pembeli, pemasok dan pihak lainnya.
Seminar ditutup dengan pembicaraan kerja sama double degree antara dua kampus dan makan malam dijamu oleh Presiden Universitas Reitaku, Osamu Nakayama dan para pejabat kampus lainnya.