Senin 15 Sep 2014 09:58 WIB

Munajat untuk Siswa Tambora

Nada Indana Zulfa bersama kelas 5 SDN 09 Pekat, Dompu, Nusa Tenggara Barat.
Foto: Dok. Pribadi
Nada Indana Zulfa bersama kelas 5 SDN 09 Pekat, Dompu, Nusa Tenggara Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, KAROMBO -- Dua waktu yang selalu kutunggu, menjelang Maghrib dan sehabis Subuh. Langit teduh menyimpan tenteram begitu dalam di keduanya. Seperti pagi-pagi yang lalu, matahari terbit di balik kokok ayam, juga di antara langkah kaki petani dan ketabahan para nelayan di sebuah dusun bernama Karombo. Yang paling simfoni dari pelosok negeri, yakni nyanyian serangga dan dengau suara sapi.

Ada banyak Yanti di belantara bumi. Namun siswi kelas 5 SDN 09 Pekat, Dompu, Nusa Tenggara Barat ini memiliki lain sisi. Ia anak berprestasi dan tak mudah menyimpan benci. Lahir dari rahim petani desa tak membuatnya rendah diri. Baginya, setiap manusia berhak menentukan cita-cita tinggi. Walau sebagian pakaiannya tampak pudar, ia sering kali berpenampilan rapi. Di mekar senyumnya yang melati, ia kadang merangkai berbagai animasi dari kertas origami. Ia memang tak suka bernyanyi, tapi diam-diam lihai mencipta puisi. 

Kesabaran selalu menemukan teman. Seperti ketekunan Yanti dalam mengaji, ia tak pernah lelah walau datang sendiri. Aku selalu tergugah, sejak kecil ia sudah istiqamah.   

Sudah hampir setahun aku mengajar di sini, sebuah kesempatan berbagi untuk negeri, pengalaman rantau yang pasti bergengsi. Sembilan kilo dari kaki Gunung Tambora, rumah Yanti bersebelahan dengan tempat tinggalku. Hanya dipisahkan pagar dan sepetak tanah. Keluarganya cukup sederhana, kadang bapaknya menjadi sopir truk sebelum atau sesudah masa panen. Ibunya hanya mengurusi rumah tangga, dengan kegemaran beternak ayam.

Guru paling bijaksana barangkali teman setia atas potensi anak-didiknya. Aku sedang belajar menjadi teman setia atas istiqamah Yanti yang tak pernah sudah. Suatu pagi awal perjumpaan kami, ia berkata, “Perkenalkan nama saya Yanti. Tak seorang pun pernah menanyakan kegemaran saya. Cita-cita saya hanya satu: menjadi guru.” Aku sejenak tertegun mendengar itu. Kemudian ia melanjutkan cerita tentang doa dan cita-citanya. Wajahnya menyimpan semangat tak pernah padam.

“Pak Deno, besok sore kita ke pantai lagi, bermain lempar-tangkap cita-cita ya?” Aku mengangguk tanpa ragu.

Suatu saat aku pernah berpesan kepada siswa-siswaku tentang cita-cita. “Cita-cita tak akan meleset dari doa dan usaha yang terus-menerus dilakukan.” Serentak seluruh siswa kelas 6 meneriakkan satu per satu cita-citanya. Aku melihat sosok Yanti yang sedang mengintip di balik pintu ruangan kelas. Mencuri diam-diam apa yang kami perbuat di kelas. Ia mengambil kesempatan lantaran sang guru yang bertugas di kelas 5 tidak mengisi materi.

Belakangan kuketahui, sang guru memilih asyik mengisap rokok dan mengobrol di ruang guru tanpa rasa risih. Percakapan mereka berisi keluh-kesah soal tunjangan yang telat dicairkan; bukan memikirkan cara melejitkan potensi siswa seperti Yanti.

Agenda TPA pun dimulai. Sekitar 20 anak berbondong-bondong ke mushala. Sebulan berikutnya mushala masih ramai dengan anak-anak Karombo yang sedang mengaji. Sungguh sayang, dua bulan berikutnya mushala bertambah sepi. Hanya tersisa tujuh anak yang masih tekun mengaji.

Ini soal tradisi, sikap orangtua yang tak peduli atas pengetahuan religi sang buah hati. (Begitu Ramadhan tiba, anak-anak mulai kembali ramai mengaji, sepertinya setelah ditegur oleh orangtuanya. Dan sepertinya para orangtua hanya ingat shalat di saat Ramadhan tiba!). Yanti termasuk di dalam tujuh anak itu. Tetap menginspirasi siswa lain, bahkan aku iri atas kedisiplinannya.

Aku bergerak sesuai opsi terakhir, mendatangi sebagian rumah siswa, berbicara dengan orangtua mereka dan mengajak anak-anaknya ke mushala dengan berbagi kisah para sahabat Nabi. Tapi itu hanya bertahan sembilan hari. Setelah Ramadhan usai dan Idul Fitri berlalu, siswa-siswa yang mengaji mulai hilang satu demi satu. Alhamdulillah, dari tujuh masih ada tiga, dan Yanti termasuk di antaranya.

“Pak Deno, tadi sore sudah saya ajak anak-anak yang lain, tapi mereka bersama orangtuanya lebih memilih menonton sinetron.” Ucap Ambar, sahabat karib Yanti.

Rembulan kesebelas, hanya Yanti dan Ambar yang mengaji. Aku ingat pesan singkat seorang kawan Sekolah Guru Indonesia. “Kebaikan yang paling disukai Allah adalah yang dilakukan dengan istiqamah walaupun sedikit.” Dalam santun doa, aku berharap yang sedikit kelak menjadi bukit.

Dua purnama berikutnya, Yanti sajalah yang memiliki keteguhan hati. Ini kiranya rahasia dari Yanti anak dari rahim petani, dari dini sudah memiliki disiplin tinggi. Ini baru luar biasa. Kini aku hanya sering mengaji berdua di mushala. Tanpa mengurangi gairah mengajar TPA, semangatku bertambah 10 persen menjadi 100 persen untuk setia belajar mengaji bersama Yanti.

Setiap selesai mengaji, Yanti selalu bercerita tentang cita-citanya kelak. Masih seperti dulu, hanya menjadi guru. Di samping cerdas dan disiplin, baktinya kepada kedua orangtua menjadi bekal utama. Suatu senja ayahnya meminta agar kelak, kalau sudah lulus sekolah, sang putri menjadi dokter. Tapi Yanti tetap bersikukuh untuk menjadi guru, karena baginya dokter tumbuh dari bimbingan guru.

Dari balik jendela kamarku, rumah Yanti tampak jelas. Kadang aku mengintip aktivitas sehari-harinya. Sesaat setelah azan berkumandang ia pasti melintas mengambil air wudhu di kamar mandi belakang rumahnya. Pernah suatu kali, padahal sama sekali aku tidak pernah menyuruhnya, ia tiba-tiba meminta izin orangtuanya untuk berpuasa Senin-Kamis. Sayang, tak diperbolehkan orangtuanya hingga ia pun menangis.

Ada pelajaran menarik dari seorang Yanti, anak kedua dari tiga bersaudara. Aku sedang membaca bahwa doa yang akan terkabul adalah usaha yang sungguh-sungguh. Dan usaha yang sungguh-sungguh akan mengantarkan ke sebuah tujuan bernama cita-cita.

Hampir setahun Yanti tak pernah lelah shalat berjamaah dan mengaji di mushala desa. Bagi Yanti, cita-cita adalah usaha dan doa yang panjang. Dan dalam doa yang sederhana, aku hanya bisa membantunya dengan selarik pinta di sela munajat: “Ya Allah, kabulkanlah cita-citanya.”

Penulis :

Nada Indana Zulfa

Relawan Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa, Pemuda asal Madura ini bertugas sebagai Guru di SDN 9 Pekat, Dompu, Nusa Tenggara Barat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement