REPUBLIKA.CO.ID, DONGKALA -- Dongkala menjadi tempat tinggalku selama penempatan. Dongkala bertetangga langsung dengan laut, yang ketika sore hari sungguh ramai orang. Tidak hanya jalanan di darat, laut pun menjadi tempat bermain anak-anak. Tawa dan canda menghiasi wajah mereka.
Berbagai kegiatan yang kulakukan di sekitar rumah cukup membuat hari-hariku selama setahun berwarna bak pelangi. Salah satu kegiatan tersebut adalah Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Belasan anak Dongkala itu belajar mengaji dan menghafal doa sehari-hari selepas Shalat Isya. Setiap hari kuajarkan mereka doa-doa yang berbeda.
Namanya juga anak-anak, tertukar doa menjadi hal biasa. Diminta membacakan hafalan doa masuk kamar mandi, yang dibaca malah doa sebelum dan setelah makan
Membiasakan anak menghafal dengan cara mengulang potongan doa harian menjadi salah satu trik yang kulakukan. Diawali dengan pembacaan doa secara lengkap, aku lalu memotong doa tersebut ke dalam beberapa kata, dan meminta mereka mengulangnya sebanyak sepuluh kali. Setelah diulang beberapa kali untuk dihafal, tiba-tiba celetukan seorang anak membuatku tersadar.
“Bu Guru, kita orang tidak punya kamar mandi. Masihkan baca itu doa?” Tanya La Dona.
Sontak teman-temannya tertawa, begitu pun aku. Tak disangka, ternyata teman-temannya mengamini apa yang ditanyakan La Dona. “Jadi bagaimana, Bu Guru? Kita orang kamar mandinya di laut.” Jelas Wa Yoni.
Tawa masih saja menggema di ruang tamu, tempat mengaji sekaligus rumah tempatku tinggal. Hanya dengan garukan kepala dan senyuman, aku menjawab. Tak lama, aku menghela napas panjang dan kembali menatap wajah anak-anak. Kepolosan mereka membuatku tersenyum bangga karena mereka berkata jujur dan menanyakan hal yang belum mereka tahu.
“Nak, jika laut sudah kalian anggap kamar mandi, maka bayangkan di mana letak pintu kamar mandi yang menuju laut. Di sanalah kalian berdoa.” Entah jawabanku benar atau tidak, yang pasti tujuanku satu: anak-anak hafal doa sehari-hari lalu membiasakan dan mengamalkannya.
Sejenak aku teringat pada fasilitas rumah yang kutinggali. Sekalipun ada kamar mandi dan toilet, salah satunya tidak bisa dipergunakan semestinya. Misalnya, toilet yang mampet tidak memungkinkan untuk buang hajat di sana. Akhirnya, setiap ada ‘keperluan’ mendesak, aku dan orang rumah harus ikut ke rumah tetangga.
Untungnya, sang jiran masih kerabat dari pemilik rumah yang kutempati sekarang. Pernah suatu hari, temanku yang menginap di rumah kebelet di waktu subuh. Rumah-rumah tetangga masih terkunci rapat. Kamar mandi di masjid pun terkunci. Alhasil, keberanian mengetuk pintu tetangga lain jadi pilihan untuk menyelamatkan temanku.
“Mbak, kalau masih pagi begini bisa pergi di laut saja,” jelas perempuan pemilik kamar mandi kepadaku yang sedang menunggu di luar rumah. Aku hanya mampu tersenyum.
Efek tidak banyaknya warga yang mempunyai toilet sendiri mengakibatkan laut menjadi alternatif mereka. Tak jarang pula kutemui kotoran manusia di jalanan, bahkan pernah terinjak kakiku. Menjijikkan memang, tapi itulah faktanya. Sepertinya anak-anak sudah terbiasa membuang hajat di jalan tanpa cegahan orangtua.
Orangtua pun terkesan tak acuh dan membenarkan perbuatan anak mereka. Sekalipun ada rumah yang memiliki toilet, tetap saja pembuangannya bermuara ke laut. Sampah-sampah juga tak segan dibuang warga ke laut. Tak jarang acara berenang mendapat ‘kejutan’ beraneka ragam. Minyak, botol minuman, popok bayi, bahkan kotoran manusia. Tapi, keberadaan benda-benda ini tak jadi halangan bagi anak-anak di sana untuk berenang di laut.
Pernah suatu ketika aku diajak berenang. Paksaan anak-anak akhirnya meluluhkanku untuk berenang di laut depan rumah yang aku tempati selama satu tahun. Senyuman menghiasi wajah anak-anak yang kegirangan karena mereka berhasil membujukku untuk ikut berenang.
“Bu Guru, mari berenang. Bu Guru bisa berenang?” Tanya seorang anak padaku dengan logat Buton.
Dengan malu aku menjawab tidak. Di tengah asyiknya aku berenang dengan gaya batu, tiba-tiba ada yang melintas di depanku. “Iiihhh, itu apa?” tanyaku pada seorang anak.
Anak itu malah tertawa lalu menjawab, “Itu tahi, Bu.”
Sontak semua anak tertawa. Aku pun segera beranjak dari laut. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah berenang lagi di laut, khususnya laut di depan rumah. Sekalipun dipaksa anak-anak, aku tetap tidak akan pernah lagi luluh.
Rendahnya kesadaran mereka tentang kebersihan cukup membuatku kewalahan. Mengubah kebiasan sehari-hari tidaklah mudah. Tapi, aku tidak mau bergeming, harus ada usaha ke arah perbaikan. Maka, kebiasaan yang baik pun mulai kutanamkan pada anak-anak. Caranya dengan saling mengingatkan bahkan memberikan reward kepada anak yang tidak membuang kotoran di laut atau jalan.
“Bu Guru, tadi Mamaku larang aku buang sampah di laut.” Jelas seorang anak dengan nada bangga.
“Terus, Mamamu bilang apa?” Tanyaku penasaran.
“Mamaku bilang: kalau tidak di laut, tidak ada tempat sampah.” Anak itu menjawab dengan lesu, seolah merasa bersalah dengan perbuatan mamanya.
Itulah benturan yang masih saja belum ada solusinya. Pemerintah yang melarang masyarakat pesisir untuk membuang sampah di laut, belum berhasil membuat warganya sadar. Solusi adanya truk pengangkut sampah di setiap minggunya juga tak mampu membuat masyarakat menaati aturan yang ada.
“Truk sampah lama datang. Sampah malah sudah semakin banyak.” Alasan ini selalu mereka gunakan sebagai pembenaran. Memang tidak ada yang patut dipersalahkan, tinggal kesadaran bagaimana yang harus mulai ditanamkan. Jika orangtua sulit untuk diingatkan, tak ada salahnya mengingatkan anak-anak yang akan melanjutkan kehidupan di Dongkala.
Semoga saja, seiring berjalannya waktu, seiring kesadaran yang sudah mulai tertanam, paradigma masyarakat berubah. Laut bukan lagi menjadi tempat membuang kotoran, melainkan area bersih tanpa pencemaran.
Penulis:
Wulastrina. Relawan Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa.
Alumnus Psikologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung ini bertugas di SDN 01 Kondowa , Pasar Wajo, Kab. Buton – Sulawesi Tenggara