Oleh: Sapto, Relawan Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa
REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Hidup dengan segala yang ada tak menjadikan seseorang pandai mensyukuri nikmat yang dititipkan oleh-Nya. Begitu pula halnya dengan keterbatasan yang ada tak membunuh semangat serta daya kreatifitas orang-orang yang menjalaninya.
Saya menjadi guru relawan di daerah terpencil merupakan satu hal yang tak pernah terlintas di benakku, hidup di tengah masyarakat yang sangat jauh dari hingar bingar keramaian menjadi salah satu alasanku mengikuti program Sekolah Guru Indonesia – Dompet Dhuafa. Kini saya di tempatkan di daerah terpencil di kabupaten pandeglang provinsi banten bersama 5 orang pemuda dari beberapa daerah yang mengemban misi untuk memajukan pendidikan di daerah tersebut.
Minimnya sarana dan prasarana yang mendukung di daerah penempatan, tidak membuat saya berkecil hati ataupun patah semangat. Bahkan semakin membuat semangatku sangat membara. Para siswa di daerah penempatanku ini selalu menunjukkkan semangat yang hampir kiranya tiada henti. Walupun semua serba tidak ada. Jalan yang tak memadai, bangunan yang tak menjulang tinggi, fasilitas yang seadanya, sinyal handphone yang kurang serta sarana untuk pendidikan pun masih terbilang sulit untuk di dapatkan, mesti melewati jalan yang rusak dan waktu yang cukup lama hingga tiba di pusat kecamatan.
Saya terkadang tak mengerti, apa yang salah dengan bangsaku ini, Sumber Daya Alam yang melimpah serta kekayaan yang banyak menjadikan negara ini miskin terhadap sarana dan prasarana. Tiap tahun usia kemerdekaan bertambah namun tak menjadikan negara ini bangkit dari mental penjajahan yang terus menerus menelantarkan orang-orang yang berjuang demi negaranya.
Siswa-Siswi yang seyogyanya menjadi penerus bangsa mesti bertaruh nyawa jika hendak kesekolah, terlebih lagi jika musim hujan tiba, genangan terjadi dimana - mana, alas kaki tak mampu untuk membantu mereka berjalan, hingga akhirnya mereka pun berkata "lebih enak gak pakai sepatu pak, karena jalanannya licin pak" ya itulah kata mereka.
Miris betul mendengar kata – kata itu, tak ayal jika terkadang anak –anak di sini di hantui oleh penyakit, seperti cacingan dan diare, akibat sanitani lingkungan yang kurang. Bahkan diantara mereka pun merasa nyaman jika tak memakai sepatu atau pun alas kaki yang akan membantu mereka berjalan.
Kejadian seperti ini sering saya alami di daerah penempatanku yang baru terbilang seumur jagung ini. Baru empat purnama aku lalui di sini, tapi teah banyak pengalaman yang aku alami. Jumlah siswa secara administrasi sebanyak 225 orang mendadak hampir hilang setengahnya kala musim panen atau musim hujan tiba. Jarak rumah ke sekolah yang menjadi faktor utamanya serta infrastruktur jalan yang kurang bersahabat bagi mereka yang ingin menuntut ilmu di sekolah tercinta mereka. jalanan jadi licin dan becek tekadang bukan hambatan bagi sebagian siswa untuk tetap berangkat kesekolah.
Namun kadang pula aku miris mendengarnya ketika aku mengecek kehadiran siswa di kelas pada suatu pagi dikala hujan turun, “Rohim?” kataku ketika mengabsen dengan memanggil nama siswaku, “hadir pak” terdengar dari ujung barisan bangku pria. “Sainta” kataku melanjutkan mengabsen, “tidak hadir pak” berkata sebagian siswa yang lain menanggapiku. Lalu aku balik bertanya “kenapa sainta tak aya?” dengan nada logat sunda plus sulawesiku yang masih sedikit canggng, “sainta lagi mengasuh pak” kata siswa yang lainnya.
Mengasuh ya... mengasuh, itulah pekerjaan tambahan bagi para siswaku yang memiliki adik kecil. Terkadang mereka di suruh untuk mengasuh adiknya ketika orang tua mereka sedang memanen di sawah, alhasil sekolah mereka yang menjadi korbannya. Namun aku tetap mengakui bahwa mereka memiliki semangat yang tinggi untuk bersekolah, walaupun mereka terkadang “terpaksa” untuk tak kesekolah, karena faktor ini dan itu.
Saya serasa tak mampu melihat itu semua, yang ku bisa hanya memberikan yang terbaik untuk mereka dan terus menyemangati bahwa di balik keikhlasan ada perasaan bahagia yang menunggunya.Percayalah!