REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa waktu lalu publik sempat dikejutkan dengan buku ajar Sekolah Dasar (SD) bermuatan pornografi. Kemudian muncul lagi buku ajar kelas X dan XI SMA mengandung materi radikal yang sangat berbahaya karena menanamkan rasa kebencian.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Fahira Idris, meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memperketat proses seleksi buku ajar sebelum sampai ke tangan siswa. Agar dunia pendidikan tak lagi kecolongan kehadiran materi-materi yang berpotensi merusak generasi muda.
"Kita jangan jadi seperti pemadam kebakaran yang baru sibuk setelah kejadian. Buku-buku seperti ini tidak akan beredar kalau ada mekanisme seleksi yang ketat," kata Fahira.
Selain kekecewaanya terhadap Kemendikbud, Fahira juga mempertanyakan peranan penerbit dalam mengedit naskah buku ajar. Serta kehadiran Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang bertugas menilai kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan grafik buku teks pelajaran. "Kenapa materi berbahaya bisa lolos?" katanya.
Fahira mengatakan, buku ajar harusnya disiapkan oleh ahli atau pakar dibidang tertentu sebagai sarana pengajaran. Muatan buku juga harusnya mudah dipahami oleh siswa disekolah sehingga menunjang program pengajaran.
Buku ajar, menurutnya, paling tidak harus memuat beberapa kriteria. Antara lain membuat peserta didik paham makna dan hasil yang diharapkan, memotivasi belajar tanpa dipaksa, mendorong anak memiliki perhatian terhadap apa yang dipelajari, mendorong pola belajar yang mandiri, dan membuat peserta didik menemukan nilai dan etika yang relevan dengan kehidupan kekinian dan moral yang berlaku.
"Semuanya itu menyatu dan mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia pelajar kita. Jadi menyusun buku ajar itu tidak boleh sembarangan apalagi menyesatkan. Penyusun buku ajar harus paham filosofi ini, kalau tidak bisa kacau dunia pendidikan kita," ujarnya.