Rabu 06 Apr 2016 16:12 WIB

Diskriminasi Peserta UN Tunanetra, Kemendikbud Salahkan Daerah

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Andi Nur Aminah
Siswa penyandang disabilitas netra membaca soal dalam bentuk braille di samping pendampingnya saat mengikuti ujian nasional (UN) di SLBA Yapti Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (4/4).  (Antara/Yusran Uccang)
Foto: Antara/Yusran Uccang
Siswa penyandang disabilitas netra membaca soal dalam bentuk braille di samping pendampingnya saat mengikuti ujian nasional (UN) di SLBA Yapti Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (4/4). (Antara/Yusran Uccang)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menanggapi adanya informasi ihwal tidak tersedianya naskah soal braile bagi penyandang tunantetra. Menurut Insprektorat Jenderal (Irjen) Kemendikbud, Daryanto, hal ini biasanya terjadi karena keterlambatan informasi dari Dinas Pendidikan setempat. “Dinas pendidikan setempat terlambat melapor ke pusat,” ungkap Daryanto melalui pesan singkatnya kepada wartawan, Rabu (6/4). 

Akibatnya, dia melanjutkan, tim pusat pun menjadi kesulitan untuk melayaninya. Atas kondisi tersebut, Daryanto mengusulkan Dinas Pendidikan di daerah agar bisa menyampaikan informasinya tepat waktu. Upaya ini sangat diperlukan agar pemerintah pusat menyediakan lembar braille tepat waktu dan tepat jumlah.

Daryanto juga menolak Kemendikbud telah melakukan tindakan diskriminasi terhadap peserta penyandang tunanetra. “Tidak ada diskriminatiflah, lha wong nggak ada lembar braille pun, teman-teman masih bersedia membantu melayani,” terang Daryanto. Bahkan, para pengawas pun bersedia membacakan soal kepada siswa-siswa tersebut sehingga bisa ikut UN tepat waktu.

Kepala Pusat Penilaian Pendidikan (Kapuspendik), Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kemendikbud, Nizam mengatakan, fenomena itu tidak akan terjadi selama laporan ke panitia pusat akurat dan tepat waktu. Jika ini dilakukan, kata dia, pemerintah jelas akan membantu menyediakan soal braille. 

Nizam mencontohkan, pemerintah Kota Surabaya yang telah melapor adanya sekolah inklusi pada Jumat sebelum pelaksanaan UN. Informasi ini tentu bisa membuat pusat menyiapkan dan mengantar soal tersebut ke daerah dengan sesegera mungkin. “Contoh Surabaya baru Jumat lapor ada siswa inklusi, kami siapkan dan antar soalnya Sabtu sampai di tempat,” jelasnya.

Sebelumnya, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkap terdapat diskriminasi terhadap peserta tuna netra selama pelaksanaan Ujian Nasional (UN) berlangsung. Hal ini berdasarkan laporan yang diterima posko FSGI di Tasikmalaya, Kupang, Kerawang, Medan, Mataram, Karanganyar, Sidoardjo, Makassar dan Jakarta.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) FSGI, Retno Listyarti menerangkan, para penyandang tuna netra mengalami kesulitan saat mengerjakan soal UN Pensil Kertas (UNPK). “Tidak ada ketersediaan soal UN braile bagi penyandang tuna netra,” kata Retno dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Rabu (6/4).

Retno mengetahui benar bahwa soal UN braile memang mahal harganya, yakni diperkirakan Rp 500 ribu/soal. Namun seharusnya tingginya harga tersebut tidak menjadi halangan bagi pemerintah.

Menurut Retno, selama ini penyadang tuna netra harus  dibacakan soalnya oleh pengawas. Akan tetapi peserta tetap merasa kesulitan karena soal-soal yang disertai gambar, simbol, dan grafik. Soal-soal demikian jelas tidak bisa dijelaskan si pengawas sehingga peserta tuna netra dipaksa berimajinasi. “Dan hal ini jelas bentuk diskriminasi pemerintah terhadap penyandang disabilitas,” kata Retno.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement