REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong strategi pengembangan industri budidaya lele berkelanjutan. Itu demi menggenjot produksi mencukupi kebutuhan konsumsi ikan lele termasuk memperluas akses pasar ekspor ke beberapa negara.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto mengatakan, tren permintaan ikan konsumsi terus mengalami peningkatan. Bahkan FAO mencatat pertumbuhan kebutuhan ikan dunia melebihi pertumbuhan populasi penduduk dunia. Itu menjadi peluang mendorong peningkatan produksi lele nasional.
"Tren konsumsi ikan dunia tumbuh terus dan diprediksi akan sangat bergantung pada budidaya. Ini peluang bagi pelaku usaha lele untuk mensuplai kebutuhannya termasuk untuk kepentingan ekspor, yang saat ini mulai terbuka lebar utamanya ke Uni Eropa dan Timur Tengah", terang Slamet, Ahad (30/9).
Untuk menggenjot produksi lele nasional, Slamet membeberkan setidaknya ada 3 (tiga) strategi utama dalam upaya pengembangan industri budidaya lele berkelanjutan.
Pertama, mengembangkan skala usaha budidaya menjadi sebuah industri yang berbasis teknologi berkelanjutan. Menurutnya industrialisasi ini harus didorong secara holistik melalui pengembangan industri perbenihan, sistem produksi pembesaran, pengembangan input produksi lebih efisien, pakan mandiri dan industri pengolahan ikan.
Ia juga mengatakan bahwa inovasi teknologi budidaya saat ini telah berkembang sangat progresif.
Dirinya mencontohkan, pada level pembenihan telah dorong teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) untuk komoditas lele. Teknologi ini telah secara nyata mampu menggenjot produktivitas hingga 100 kali lipat dibanding konvensional, di samping lebih ramah lingkungan, dan efisien dalam pemanfaatan air dan lahan. Industrialisasi perbenihan menjadi sangat penting untuk menjamin ketersediaan benih bermutu secara berkelanjutan.
Di samping itu teknologi lele bioflok yang telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas budidaya. Bioflok juga telah mampu mengangkat image lele sebagai produk yang sangat diterima di kalangan masyarakat.
"Baru baru ini, KKP sudah bekerja sama dengan LIPI untuk menerapkan teknologi ultrafine micro bubble generator. Teknologi ini juga mampu meningkatkan kelulushidupan dan produktivitas secara signifikan dan bisa efektif juga diterapkan pada budidaya lele.
Strategi kedua, peningkatan daya saing produk. Jika orientasinya ekspor, menurutnya daya saing perlu ditingkatkan, yakni dengan terus mendorong pelaku usaha meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan.
"Standarisasi teknologi dan sertifikasi CBIB akan terus didorong. Sehingga ikan lele memiliki image positif, dengan demikian preferensi konsumen juga semakin meningkat. Apalagi negara negara tujuan ekspor pasti menerapkan persyaratan mutu yang rigid. Jadi kita harus siap sejak dini", imbuhnya.
Strategi penting lainnya yakni mendorong efisiensi produksi, utamanya bagaimana pembudidaya mendapatkan akses input produksi yang efisien.
"Tadi dikatakan harga pakan pabrikan yang terus merangkak naik akibat penguatan nilai kurs dollar terhadap rupiah, padahal pakan adalah penyusun cost produksi tertinggi yakni sekitar 70-75 persen. Pada kondisi ini, maka harus mulai menggunakan pakan mandiri untuk meningkatkan margin keuntungan. Kita sudah kaji, ternyata kualitas pakan mandiri tidak kalah jauh dengan pakan pabrikan. Justru dengan menggunakan pakan mandiri pembudidaya bisa menghemat biaya sekitar 4-5 ribu per kg", jelas Slamet.
Oleh karenanya, ia berharap momen temu bisnis harus dijadikan ajang dalam memperkuat kerja sama antarstakeholders, termasuk bagaimana merumuskan strategi versi pelaku usaha yang nanti bisa dielaborasi dengan kebijakan KKP.
"Saya optimis lele ini akan menjadi primadona bukan hanya di level domestik. Tapi juga dapat menguasai pangsa pasar ekspor utamanya ke Timur Tengah", pungkas Slamet.