REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lima tahun yang lalu, Hendianto (35 tahun), memutuskan untuk mundur dari sebuah perusahaan panel listrik di Pulogadung, Jakarta. Ia bosan dengan rutinitas yang menyita banyak waktu. Uniknya Hendi memilih untuk tak bekerja sebagai karyawan lagi. Pria yang kini sudah memiliki dua anak itu beralih profesi menjadi seorang nelayan.
"Saya melihat prospek menjadi nelayan cukup bagus, lagi pula waktunya lebih bisa diatur dibandingkan karyawan," ujar Hendianto di tempat tinggalnya di kampung nelayan di kawasan Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (28/9).
Hendi bukan nelayan pada umumnya di Jakarta. Ia merupakan jebolan salah satu Universitas swasta terkenal di ibu kota. Hendi mengambil jurusan teknik industri.
Sebagai seorang sarjana, Hendi tak ingin sekadar menjadi nelayan. Ia ingin nasib nelayan-nelayan di kampung Cilincing bisa lebih baik. Karena itu, dua tahun lalu, Hendi dan dua orang teman lainnya memutuskan untuk membuat koperasi Nelayan Sumber Laut Mandiri
Koperasi yang baru seumur jagung itu, ikut menggabungkan tiga kelompok usaha bersama (KUB) nelayan di Cilincing. "Awal mula saya melihat mereka itu kayak anak ayam nggak punya induk, nggak ada wadah yang menampung aspirasi mereka," tutur Hendi.
Hendianto (35 tahun), salah satu nelayan di Cilincing.
Salah satu fokus dari koperasi ini adalah pemenuhan alat penangkapan bagi para nelayan. Alat tangkap sangat penting karena mempengaruhi jumlah hasil tangkapan mereka. Semakin canggih, maka kian banyak juga hasil tangkapan yang diperoleh. "Kita lebih ke alat teknologi, untuk pemasaran kita serahkan ke masing-masing, karena mereka sudah punya pasar sendiri," katanya.
Ia mengaku di Cilincing, para nelayan masih banyak menggunakan alat tangkap tradisional. Ada juga yang memakai alat cantrang. Padahal alat ini sudah dilarang oleh pemerintah. "Kita ingin menjadi nelayan tradisional yang modern," ujarnya.
Salah satu strategi koperasi dalam pengadaan alat adalah bekerja sama dengan pemerintah. Koperasi menjadi jembatan antara nelayan dan otoritas terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Selain itu, anggota koperasi juga kerap berdiskusi guna menemukan alat tangkap yang efektif, salah satunya holder. Dengan alat ini sekali melaut, nelayan bisa menebar jaring hingga empat kali. Padahal sebelumnya hanya satu kali. "Untuk mesin dan tekniknya kita bareng-bareng ngumpul dan koperasi yang mengkoordinasi," ujarnya.
Jumlah anggota koperasi saat ini baru 33 orang. Koperasi juga membawahi tiga KUB Nelayan (KUB). Setiap KUB memiliki sekitar 30-50 anggota. Untuk anggota KUB hubungan langsungnya dengan ketua KUB. "Nanti ketua KUB yang berhubungan langsung dengan pimpinan koperasi," paparnya.
Salah satu keuntungan lain menjadi anggota koperasi adalah dalam pengurusan izin. Menurut Hendi, anggota tak perlu susah payah untuk mengurus izin melaut. Mereka juga tak perlu mengeluarkan uang. "Kami bantu seluruhnya," kata Hendi.
Untuk masuk menjadi anggota, nelayan membayar iuran perdana sebesar Rp 500 ribu dan bulanan Rp 50 ribu. Uang iuran itu untuk kas dan kebutuhan organisasi. Selain itu, para anggota juga mendapat fasilitas asuransi melaut.
Bertemu rutin
Hendi tak mau organisasi koperasi yang dipimpinnya mati suri atau hanya berkegiatan jika pas ada bantuan. Untuk itu ia sering mengajak anggota berdiskusi mengatasi kendala-kendala yang dihadapi saat melaut.
Pertemuan dilakukan secara rutin, hanya saja soal waktu bersifat tentatif. Anggota Koperasi juga sering berkomunikasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan. "Dalam satu bulan kita anggota biasa ketemu, kalau misalkan ada masalah yang belum diselesaikan pekan depannya lagi kita bisa bertemu untuk cari solusi bersama," katanya.
Saat ditemui, Hendi mengajak Republika.co.id untuk ikut bongkar muat ikan di salah satu toko di Cilincing. Hendi bersama seorang rekannya, Junanto (29 tahun). Kebetulan, Junanto juga merupakan salah satu anggota dan sejak awal ikut koperasi. "Keuntungannya banyak, seperti dapat peralatan jaring atau mesin dengan gratis," ujar Junanto. Selain itu, ia juga tak dipersulit untuk memperpanjang surat izin.
Junanto (29 tahun), nelayan lain di Kawasan Cilincing.
Junanto lebih lama melaut dibanding Hendi. Ia sudah 14 tahun mencari ikan di perairan Jakarta. Warga Cilincing itu mengaku penghasilan nelayan tak menentu. Namun sekali melayar, bapak dua orang anak ini bisa memperoleh Rp 200 ribu. "Jaring kita khusus untuk ikan kembung dan ikan layur," tuturnya.
Hendi mengungkapkan, masih banyak pekerjaan rumah buat mengembangkan koperasi ke depan. Namun dalam jangka pendek, ia menargetkan koperasi bisa mendirikan unit usaha penjualan alat tangkap ikan, termasuk mesin kapal. Potensi pada bisnis ini sangat besar. "Tempat sudah ada, tinggal pengadaannya ini, kita masih butuh modal," katanya sambil membongkar ikan dari drum penampungan.
Jika mengandalkan dari uang kas, menurut Hendi akan sangat sulit. Salah satu strategi yang paling memungkinkan adalah menggandeng mitra usaha dari swasta. "Ini yang akan kita coba ke depan," katanya.
Untuk target jangka panjang, koperasi juga ingin membuka simpan pinjam. Namun buat simpan pinjam ini harus dipikirkan sangat matang. Mengingat tantangan yang akan dihadapi jauh lebih berat. Seperti, membuat sistem keuangan dan bagaimana mencegah agar anggota koperasi tak gagal bayar.
Selektif memberi bantuan
Kepala Seksi Kelembagaan Koperasi Dinas Koperasi, UMKM dan Perdagangan DKI Jakarta, Bambang Eko Warso, mengungkapkan secara total ada 17 koperasi nelayan di Jakarta. Namun tak semuanya aktif. Ada juga yang sekedar mengejar proyek. Karena itu sekarang pemerintah sangat selektif dalam menyalurkan bantuan. "Kalau tumbuhnya dari bawah Insyaallah bisa jalan. Tapi kalau sekadar proyek gak akan bertahan lama," tuturnya.
Ia mengakui, untuk menjalankan koperasi simpan pinjam nelayan akan sangat sulit. Karena tak sedikit yang mau meminjam tapi malas membayar. "Saya tahu kondisi di lapangan, mereka pas mau pinjam marah, nah ketika ditagih lebih marah lagi," tuturnya.
Paling mungkin dan bisa dijalankan adalah dengan memberikan mereka kebutuhan melaut. Misal, koperasi meminjamkan kebutuhan untuk melaut. Setelah itu hasil ikannya dibeli koperasi dengan harga bersaing. Dengan begitu, bisa saling menguntungkan. "Koperasi untung dan nelayan tak jatuh ke pengijon," ujarnya.
Soal pembinaan koperasi, menurut Bambang, untuk nelayan biasanya langsung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Mereka memiliki binaan untuk proses penyaluran bantuan. "Yang diutamakan biasanya yang punya Nomor Induk Koperasi (NIK), dan memiliki kegiatan yang aktif," jelasnya.
Sementara itu Koperasi Mina Jaya Muara Baru yang telah berdiri sejak lebih dari dua dekade berdiri memiliki fase tantangan tersendiri dalam membantu nelayan. Menurut Sekretaris Koperasi, Mahdi, unit simpan pinjam sudah dihentikan sementara sejak 2016. Penghentian ini tak terlepas dari kredit macet yang jumlahnya sudah terlalu besar. Tak sedikit nelayan yang meminjam, tapi tak mau mengembalikan. "Ada tunggakan lebih dari Rp 1 miliar," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa (2/10).
Menurut Mahdi, unit simpan pinjam akan kembali dijalankan jika kondisinya sudah membaik. Adapun buat saat ini, koperasi bergantung pada usaha penjualan subsidi solar untuk nelayan. Setiap bulan, koperasi Mina Jaya mendapat jatah 280 kiloliter. Selain itu, ada juga usaha toko sembako, air bersih hingga impor ikan. "Kami harap ke depan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sudah bisa kami kelola lagi. Sekarang yang mengelola dinas lewat UPT," ujarnya.
Mahdi mengungkapkan, ada 2.200 orang nelayan yang tergabung di Mina Jaya. Namun hanya 75 persen yang aktif. Sama seperti Hendi, Mahdi juga ingin kesejahteraan nelayan meningkat lewat koperasi. Ia berharap ke depan keuangan Mina Jaya membaik. Apalagi jika benar-benar TPI bisa dikelola. "Kita inginkan ada uang tunjangan hari raya, santunan kematian atau pembagian sembako buat para nelayan," tuturnya.