Rabu 03 Oct 2018 13:51 WIB

Ini Analisis Kepala Badan Geologi Soal Isu Tenggelamnya Palu

Lapisan pasir di bawah tanah yang menyebabkan likuifaksi sudah berkurang banyak.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Gita Amanda
Anggota tim penyelamat dari Manggala Agni mencari korban gempa dan tsunami di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10).
Foto: Muhammad Adimaja/Antara
Anggota tim penyelamat dari Manggala Agni mencari korban gempa dan tsunami di kawasan Kampung Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu Kota Palu akan tenggelam setelah gempa bumi dengan magnitudo 7,4 skala Richter mengguncang, Jumat (28/9) lalu, menyebar dan menebar kecemasan bagi masyarakat. Tak pelak, kini banyak warga yang berbondong-bondong meninggalkan Kota Palu dan sekitarnya.

Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI (Kementerian ESDM) Rudy Suhendar meminta agar masyarakat tidak termakan isu tersebut. Karena, menurut analisis dia, lapisan pasir di bawah tanah yang menyebabkan likuifaksi sudah berkurang banyak.

Dengan demikian, kalaupun kembali terjadi fenomena likuifaksi, dia memprediksi energi yang ditimbulkan tidak sebesar ketika mendapat tekanan dari patahan Palu Koro, penyebab gempa beberapa hari lalu.

"Kalaupun keluar itu paling beberapa sentimeter, yang umumnya tidak akan terjadi sebesar pas terjadi gempa kemarin. Karena, harus ada pengocoknya dan lagi kan sudah keluar sekian kubik mungkin, ya, bubur (lapisan pasir) itu sudah keluar banyak," kata Rudy dalam konferensi pers terkait Peta Kawasan Bencana Geologi dan Gempa Bumi di Sulawesi Tengah, di kantor Kementerian ESDM Jakarta, Rabu (3/10).

Karena itu, menurut dia, masyarakat tidak perlu merasa cemas dan takut yang berlebihan menanggapi isu tersebut. Hal yang paling penting, kata dia, masyarakat harus selalu mawas diri dan waspada.

"Intinya kalaupun ada kejadian (likuifaksi), tidak sebesar itu. Yang penting tetap waspada pada masyarakat," ujarnya menjelaskan.

Rudy mengakui, hingga saat ini pemetaan terkait adanya potensi likuifaksi di Indonesia belum dilakukan secara menyeluruh. Keterbatasan alat dan tim disinyalir menjadi salah satu penyebabnya. Kendati begitu, kota-kota besar dan daerah penting, menurut dia, telah menjadi salah satu prioritas.

"Beberapa daerah ada (pemetaan likuifaksi). Tapi, banyaknya (daerah) yang pernah terjadi (gempa), ya untuk mengantisipasi," papar dia.

Terkait fenomena likuifaksi, Geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto juga menyebut, hampir semua kota besar di Indonesia memiliki kerawanan terjadi likuifaksi. Hanya saja, kekuatan atau parahnya likuifaksi bergantung pada pasir lepas kaya air, yang berada di bawah tanah.

"Fenomena likuifaksi biasa terjadi di daerah pantai, sungai yang dekat gunung merapi aktif, dan sungai tanpa berdekatan gunung merapi. Dan, seperti kita ketahui, kota-kota besar atau sedang di Indonesia dekat dengan pantai, jadi kerawanan itu ada," kata Eko kemarin.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement