REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Menghadapi tekanan ekonomi global Otoritas Jasa Keuangan terus berupaya meningkatkan koordinasi dan komunikasinya dengan Pemerintah dan Bank Indonesia. Selain itu OJK juga meminta sektor jasa keuangan bersiap diri menghadapi tekanan ekonomi global.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan meningkatnya suku bunga global berpotensi diikuti oleh kenaikan suku bunga domestik. "Bank dan perusahaan pembiayaan perlu mengerahkan usaha ekstra untuk melakukan efisiensi. Sampai taraf tertentu hal ini akan mengurangi dampak kenaikan suku bunga pinjaman yang sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," katanya dalam materi diskusinya di Seminar Navigating Indonesia’s Economy in The Global Uncertainties di Bali, Rabu (10/10), seperti dalam siaran pers.
OJK juga akan mempromosikan pendalaman pasar keuangan dengan meningkatkan sisi suplai dari sisi permintaan, serta infrastruktur yang mendukung. Melalui kerja sama yang baik dengan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, OJK menyatakan telah menetapkan strategi nasional pendalaman pasar keuangan.
"Dengan ini saya berharap pasar keuangan kita akan tumbuh kuat dan mengurangi ketergantungan aliran modal asing," katanya.
Wimboh menegaskan, kondisi industri jasa keuangan saat ini sangat solid, yang didukung dengan data pemodalan yang cukup kuat, likuiditas yang baik, dan tingkat risiko yang terkendali. Rasio kecukupan modal perbankan terjaga di level 23 persen.
Demikian juga halnya dengan tingkat pemodalan perusahaan asuransi yang berada di atas threshold. Sementara itu likuiditas perbankan dalam kondisi yang cukup, "excess reserve" perbankan mencapai sekitar Rp 518 triliun. Hal ini memberikan "buffer" yang cukup bagi sektor jasa keuangan untuk bertahan menghadapi tekanan. Intermediasi sektor jasa keuangan juga menunjukkan tren yang meningkat.
Pertumbuhan kredit perbankan tercatat sebesar 12,12 persen year on year (yoy) dengan NPL yang cukup rendah yaitu sebesar 2,74 persen. Pertumbuhan piutang perusahaan pembiayaan pun cukup baik yaitu bertumbuh 5,82 persen dengan NPF sebesar 3,11 persen.
"Kami terus memonitor dan mengevaluasi perkembangan risiko kredit baik perbankan maupun perusahaan pembiayaan untuk mencegah terjadinya krisis di sektor jasa keuangan," katanya.
Sementara itu, meskipun yield obligasi dalam rupiah dalam tren meningkat, penggalangan dana di pasar modal tumbuh positif. Mencapai sekitar Rp 130 triliun (ytd), dengan sejumlah Rp 20 triliun lainnya masih dalam "pipeline".
OJK juga terus menjalin komunikasi dan meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah dan Bank Indonesia menyiapkan berbagai kebijakan menghadapi tekanan ekonomi global ini. “Tentu saja kita tidak tinggal diam dengan situasi ini. Pemerintah, BI dan OJK telah menerbitkan bauran kebijakan jangka pendek dan menengah serta terus memantau perkembangan ekonomi yang terjadi,” ujar Wimboh.
Dijelaskannya, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi impor seperti dengan menerapkan biodiesel B20, peningkatan PPh impor, kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dan ekspansi KUR ke sektor pariwisata. Sementara Bank Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti meningkatkan suku bunga acuan BI menjadi 5,75 persen, serta menyediakan FX swap dengan rate yang kompetitif, dan domestik Non-Deliverable Forwards (NDF).
Sedangkan OJK juga telah mengeluarkan berbagai insentif kepada perbankan untuk pembiayaan kepada industri berorientasi ekspor dan industri barang substitusi impor, serta industri pariwisata. Termasuk di dalamnya revitalisasi LPEI, dan fasilitas pembiayaan pasar modal untuk 10 tempat wisata baru.