Rabu 24 Oct 2018 11:50 WIB

Kak Seto Sayangkan Keterlibatan Anak di Pembakaran Bendera

Anak-anak yang terlibat bisa terganggu tumbuh kembangnya karena kebingungan.

Ribuan umat Islam yang tergabung dalam Komunitas Nahi Munkar Surakarta (Konas) menggelar aksi dalam rangka mengecam kasus pembakaran bendera bertulis lafal tauhid yang dilakukan oknum anggota Banser di Garut. Aksi dilakukan dengan konvoi menggunakan kendaraan bermotor dari Jl Honggowonggo melewati kantor PCNU Solo dan Mapolresta Solo, Selasa (23/10)
Foto: Republika/Binti Sholikah
Ribuan umat Islam yang tergabung dalam Komunitas Nahi Munkar Surakarta (Konas) menggelar aksi dalam rangka mengecam kasus pembakaran bendera bertulis lafal tauhid yang dilakukan oknum anggota Banser di Garut. Aksi dilakukan dengan konvoi menggunakan kendaraan bermotor dari Jl Honggowonggo melewati kantor PCNU Solo dan Mapolresta Solo, Selasa (23/10)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menyayangkan pelibatan anak pada kejadian pembakaran bendera yang dilakukan salah satu organisasi masyarakat pada acara Hari Santri di Garut. Perilaku pembakaran bendera disebutnya sebagai tindakan yang tidak dipahami anak-anak.

"Pembakaran bendera sebagai sebuah aktivitas simbolik tidak serta merta dapat dipahami anak-anak sebagaimana pemahaman orang dewasa," kata Kak Seto, panggilan akrabnya, yang dihubungi dari dari Jakarta, Rabu (24/10).

Kak Seto mengatakan dengan kebersahajaan pola pikir kanak-kanak, perilaku membakar bendera sedemikian rupa dapat memunculkan kebingungan pada anak. Anak-anak dapat bertanya-tanya apa yang salah dengan bendera tersebut, mengapa bendera dibakar pada peristiwa tertentu, mengapa pihak tertentu membakar bendera dan apa tujuannya.

"Referensi utama anak-anak adalah keluarga, tempat pendidikan, kelompok pergaulan dan teman-teman sebaya. Karena itu, terdapat persoalan yang tidak ringan bagi seluruh pihak untuk membangun pemahaman utuh pada diri anak mengenai pembakaran tersebut," tuturnya.

Dalam ruang pemahaman yang vakum pada diri anak-anak, Kak Seto khawatir akan terisi pemahaman-pemahaman negatif. Bahkan berpeluang berisiko buruk bagi tumbuh kembang anak.

"Kami khawatir, aksi pembakaran tersebut sedemikian rupa terasosiasi dengan 'low politics' daripada 'high politics'. Aksi tersebut rentan dimaknai sebagai permusuhan satu pihak ke pihak lain secara destruktif," katanya.

Low politics, kata Kak Seto, tidak jauh dari permasalahan menang-kalah dan hitam-putih. LPAI tidak bersikap antipolitik, tetapi memilih membuang muka dari low politics.

Sedangkan high politics berurusan dengan hajat hidup orang banyak dan hidup pada bahasan tentang bagaimana menyejahterakan warga bangsa, terutama anak-anak.

"LPAI menjaga jarak dari polemik tentang bendera dan ormas yang melakukan pembakaran. Meskipun kasus tersebut berkaitan dengan low politics, kami tetap berikhtiar menanganinya dengan pijakan high politics," jelasnya.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement