REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) lewat Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) saat ini melakukan penelitian tentang intoleransi dan radikalisme. Ketua Tim Peneliti Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Cahyo Pamungkas mengatakan intoleransi terhadap kelompok agama atau etnik berbeda disebabkan perasaan terancam terhadap kelompok lain.
Ia menerangkan intoleransi ini juga disebabkan oleh penyebaran kabar bohong dan ujaran kebencian. “Perkembangan media yang pesat selain membawa dampak positif juga harus diakui berdampak negatif dalam kaitannya dengan intoleransi dan radikalisme di Indonesia,” katanya dalam paparan penelitiannya, Selasa (30/10).
Cahyo menjelaskan, LIPI merespons fenomena intoransi melalui penelitian empiris multidisipliner. Metode penelitian yang digunakan mencakup survei nasional terhadap 1.800 responden di sembilan provinsi, dan analisis diskursus serta jaringan terhadap sejumlah media sosial dan media online.
Keterancaman terhadap kelompok lain ini juga ditegaskan dalam temuan mengenai ujaran kebencian. Ia menerangkan fenomena ujaran kebencian yang muncul seperti bentuk-bentuk ujaran yang merendahkan kelompok lain yang dianggap berbeda.
Cahyo mengungkapkan, penelitian ini juga menemukan menguatnya sentimen konservatisme agama di masyarakat bukan hanya ekspresi kultural dan ideologi. Ia mengatakan konservatisme juga muncul sebagai ekspresi politik.
Ia mengungkapkan, meskipun secara kehidupan sosial masyarakat relatif toleran, tetapi secara politik ada penolakan kuat terhadap pemimpin berbeda agama. “Lebih jauh lagi, hal ini rentan dimanfaatkan oleh aktor-aktor tertentu untuk mendapatkan sumber daya ekonomi maupun politik,” tambahnya.
Ia menambahkan sejumlah ujaran kebencian muncul dengan sistematis dibuat oleh kelompok sosial tertentu. Tujuannya, menciptakan narasi negatif yang telah berimplikasi pada dekonstruksi makna dan semangat kebangsaan.
"Walaupun pemerintah telah menetapkan UU ITE, tetapi dalam praktiknya penerapan undang-undang ini terkesan agak hati-hati. Temuan tim peneliti menunjukan pengetahuan dan kepercayaan masyarakat terhadap berita-berita palsu di media sosial dapat dikatakan tinggi,” kata dia.