REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, menyatakan kunci penyelesaian kasus kekerasan yang menimpa dirinya ada di tiga bulan pertama. Jika sudah lewat masa tiga bulan itu, menurutnya tidak mungkin kasusnya diproses hingga akhirnya tuntas.
"Kunci proses penyelesaian ini ada di tiga bulan. Setelah 3 bulan hampir tidak mungkin bisa diproses," kata dia di kantor KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (1/10).
Novel mengatakan punya hak untuk meminta agar kasusnya dituntaskan. Namun ia tidak ingin menggunakan hak tersebut. Ia lebih menginginkan kekerasan yang menimpa kawan-kawan lainnya di KPK dituntaskan agar di kemudian hari tidak terjadi lagi. Sebab tugas penyelenggara KPK ini luar biasa berbahaya.
Novel juga menegaskan bahwa ia sudah ikhlas dan tidak dendam. Ini ia sampaikan saat masih berada di rumah sakit.
"Dua jam di rumah sakit, saya katakan saya ikhlas. Kedua saya tidak dendam. Kenapa saya perlu sampaikan ini, saya tidak mau semangat berjuang ini putus gara-gara masalah ini. Saya gunakan sisa waktu yang ada untuk berjuang," ujar dia.
Pada 11 April 2017, Novel mengalami kekerasan. Matanya disiram dengan air keras seusai shalat Subuh di masjid dekat rumahnya di Jakarta Utara. Hingga kini kasusnya tak kunjung diketahui siapa dalangnya.
Bukan hanya Novel Baswedan, KPK mencatat setidaknya ada 10 kali teror yang diarahkan kepada pegawai KPK dalam menjalankan tugas. Teror dan intimidasi tersebut antara lain kriminalisasi terhadap pegawai KPK, penyerbuan dan teror terhadap fasilitas KPK, ancaman bom ke rumah penyidik KPK dan beberapa hal lain.
Wadah Pegawai KPK memperingati 500 hari penyerangan terhadap Novel dengan menggelar diskusi soal kasus Novel dan Munir. Ini bertujuan mendorong Presiden menyelesaikan kasus-kasus penyerangan dan memastikan perlindungan terhadap para penggiat keadilan, termasuk Munir dan Novel.
Melalui peringatan 500 hari penyerangan terhadap Novel, diharapkan Presiden memberikan perhatian penuh terhadap pengusutan kasus penyerangan kepada penggiat keadilan di Indonesia. Juga memastikan pengusutan itu dilaksanakan dengan tepat dan tuntas. Presiden juga diminta untuk tidak selalu bersembunyi di belakang kalimat "masa semua harus ke saya?"