REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Muslim AR
JAKARTA -- Hari demi hari, harapan-harapan keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air JT610 dengan nomor register PK-LQP kian tipis. Dari semula mengharapkan dan mendoakan keselamatan kerabat yang ikut dalam pesawat yang jatuh di perairan Karawang itu, kini bisa menemui jasad mereka saat ini jadi prioritas.
James Sianturi (57 tahun) salah satu di antara yang berharap tersebut. Pria asal Jambi itu mengenang, ia diliputi kecemasan pada Senin (29/10) pagi. Ia disuruh bergegas terbang dari Jambi ke Jakarta segera.
Putranya, Janry Efriyanto Sianturi, adalah salah satu penumpang penerbangan JT610. Janry naik pesawat bersama 13 temannya ke Pangkalpinang sehubungan pekerjaan yang ia jalani di salah satu bank di Jakarta.
Di Jakarta, berhari-hari James bolak-balik ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati menanti kejelasan. Beberapa hari James selalu berharap, terus berharap. Ia percaya bahwa anaknya itu selamat dan hanya dimainkan ombak lautan.
"Hanya Tuhan yang mengetahui, semoga Tuhan memberikan mukjizat," kata itu yang sering diulang-ulang James tiap ditemui saat menunggu kabar anaknya. Berkantong-kantong jenazah datang ke RS Polri, ia tidak pernah berharap anaknya ada dalam kantong oranye itu.
Saat harapannya menipis dan berganti, nama anaknya akhirnya disebut sebagai jenazah yang berhasil diidentifikasi. Bagian-bagian tubuh anak lelaki kebanggaan itu direkonstruksi dan dibawa ke Jambi.
Sejauh ini, setelah lebih sepekan proses evakuasi, baru 14 jenazah teridentifikasi. Apa yang membuat proses sedemikian lama? Bagaimana tim identifikasi memastikan identitas korban di tengah kondisi yang demikian tragis?
Kepala Instalasi Kedokteran Forensik RS Polri Kramat Jati Kombes Pol Edy Purnomo menekankan, identifikasi sama sekali bukan proses yang mudah. Identifikasi perlu mempertimbangkan bagaimana tubuh itu ditemukan, bagaimana meyakinkan diri, meyakinkan tim DVI (Disaster Victim Identification), bahwa potongan itu memang benar disatukan dengan tubuh yang sama.
Menurut dia, tak ada satu pun jenazah dalam 137 kantong itu yang ditemukan lebih dari separuh. Ia menyebut persentase itu dengan suara yang bergetar. "Body part yang sampai ke kita paling besar itu 40 persen," kata Edy kepada Republika di Posko DVI, RS Polri, Senin (25/11).
Edy mengatakan, hanya satu jenazah yang ditemukan memiliki persentase kelengkapan bagian tubuh yang hampir mencapai 40 persen. Selebihnya dalam bagian-bagian tubuh kecil.
Memastikan jenazah seseorang itu adalah kaki yang sama, tangan yang sama, kepala yang sama bukan perkara mudah. Tubuh yang hancur karena panas tinggi yang penyebabnya baru akan diketahui berbulan-bulan lagi itu harus direkonstruksi ulang.
James Sianturi, misalnya, harus membawa berbagai tanda pengenal yang dipakai anaknya, baju terakhir, sepatu terakhir. Bahkan ia ditanyai tim identifikasi, apa ciri-ciri khusus anaknya.
Ledakan panas itu membuat tanda-tanda yang ada di tubuh menghilang. Tubuh menjadi beberapa bagian, asinnya air laut juga membuat bagian-bagian tubuh dengan ciri khusus menghilang.
"Sidik jari menjadi kabur, beruntung kalau korban masih mengenakan sepatu, ini membantu, atau bajunya masih melekat. Kalau ini semua tidak ada, bahkan tato atau warna kulit juga tidak berbeda, maka kita pakai giginya," kata Edy.