REPUBLIKA.CO.ID, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas) baru-baru ini mengeluarkan terobosan inovasi penerbitan kartu nikah. Namun, inovasi ini menuai pro dan kontra, termasuk soal kepemilikan kartu nikah yang hanya untuk pasangan muslim.
Direktorat Jendral Kependudukan dan Pencatatan Supil Kementrian Dalam Negeri (Dirjen Dukcapil Kemendagri) Zudan Arif menjelaskan, sistem pendataan pernikahan di Indonesia, terbagi menjadi dua. Antara lain, pencacatan pasangan muslim di Kantor Urusan Agama (KUA), dan pencatatan pasangan non muslim di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).
Menurut dia, selama ini data catatan pernikahan non-muslim sudah lengkap, di mana nomor induk kependudukan (NIK) yang tertera dalam Kartu Tanda Kependudukan (KTP) akan langsung menunjukkan data pasangannya. Pengintegrasian data ini, lanjut Zudan juga telah diterapkan sejak lama oleh Kemendagri.
“Kalau di Dukcapil itu produknya Akta, bentuknya selembar begitu seperti piagam, bukan berupa buku, dan sudah ada NIK-nya. Jadi saat mengetik NIK, maka akan langsung terdata siapa istri atau suaminya,” jelas Zudan saat dihubungi Republika, Kamis (15/11).
Adapun, kerja sama Kemendagri dengan Kementrian Agama (Kemenag) tentang sistem informasi manajemen pernikahan, kata Zudan, adalah upaya untuk memperbarui data pasangan yang menikah di KUA agar datanya dapat secara otomatis masuk ke Dukcapil. Hal ini dilakukan, mengingat banyaknya pasangan muslim yang telah memiliki buku nikah, namun tidak segera melapor ke Dukcapil, sehingga statusnya dalam data Dukcapil masih belum berubah.
“Ini merupakan kerja sama yang kita (Kemendagri) koordinasikan dengan Kemenag agar kedepannya, siapa pun yang menikah di KUA, datanya akan langsung terintegrasi ke Dukcapil,” jelas dia.
Namun dia menegaskan, kerja sama ini bukan berarti sistem pencatatan di KUA kurang baik. Hanya saja, pembaruan data pernikahan belum otomatis, ditambah banyaknya warga yang malas melapor setelah menikah, membuat banyaknya perbedaan pada data status pernikahan di KUA dengan Dukcapil.
“Kita tidak melayani kartu nikah untuk non-muslim jadi Bimas Islam Kemenag ini hanya menyediakan layanan untuk urusan agama Islam.” Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama Mohsen.
“Ini bukan berarti pencatatan di KUA kurang ya. Pencatatan KUA sudah benar, hanya saja pemberian data terbarunya ke Dukcapil yang belum otomatis,” kata dia.
“Melalui kerja sama ini, maka saat warga tidak langsung melapor setelah menikah, maka datanya akan langsung kami ambil secara otomatis dari KUA untuk diintegrasikan dengan Dukcapil,” lanjut dia.
Zudan menilai, terobosan Kemenag untuk mengadakan kartu nikah dapat menjadi program yang patut ditindaklanjuti. Mengingat bentuknya yang praktis dan memudahkan masyarakat dalam pengecekan data pernikahan.
“Saya kira ini bisa dilanjutkan, karena memang praktis, dari pada harus membawa buku nikah,” kata Zudan.
Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama Mohsen menegaskan, kartu nikah hanya diberlakukan bagi pasangan beragama Islam. Menurut dia, kebijakan pengadaan kartu nikah, merupakan upaya Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
“Kita tidak melayani kartu nikah untuk non-muslim jadi Bimas Islam Kemenag ini hanya menyediakan layanan untuk urusan agama Islam,” kata Mohsen saat dihubungi Republika, Rabu (14/11).
“Kita (Bimas Islam) kan hanya konsentrasi bagaimana menyiapkan layanan dengan fungsi kita. Fungsi kita kan melayani masyarakat muslim saja,” tambah dia.
Dia mengatakan, untuk kebijakan lebih lanjut mengenai diberlakukan atau tidaknya kartu nikah bagi non-muslim, bukan menjadi urusan Bimas Islam Kemenag. Melainkan, hal itu menjadi urusan Dukcapil.
Baca juga
- Mengapa Buku Nikah Diganti Kartu?
- Kemenag: Kartu Nikah Sulit Dipalsukan
- Mahfud MD: Penerbitan Kartu Nikah Pemborosan
- Kartu Nikah Khusus Pasangan Muslim Saja, Ini Komentar PGI
Kemenag diminta terbuka
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI) Riant Nugroho mengatakan, Kemenag harus terbuka ihwal kebutuhan dan urgensi pembuatan kartu nikah. Keterbukaan untuk menghindari kecurigaan masyakarat terhadap kebijakan publik ini.
“Kemenag harus terbuka soal kebutuhan kartu nikah,” kata dia kepada Republika, Kamis (15/11).
Dia mengatakan ada dua jenis kebijakan publik, yakni sesuai kebutuhan publik dan kebijakan yang diatur vendor. Riant menjelaskan, kebijakan publik berdasarkan kebutuhan publik bertujuan agar masyarakat mendapatkan layanan lebih baik, bermutu, dan cepat.
“Itu baik karena publik memerlukan apa, dan direspons apa,” ujar dia.
Biasanya, dia mengatakan, kebijakan jenis ini berdasarkan kajian, muncul rekomendasi, dan mengarah pada kebijakan baru. Karena itu, menurut dia apabila rencana penerbitan kartu nikah berdasarkan riset, misalnya dari perguruan tinggi Islam maka harus ditunjukkan hasilnya.
“Kalau hasilnya perlu, tentu dibuat dari buku ke kartu. Itu kebijakan baik dan bertanggung jawab karena didorong kebutuhan publik,” tutur dia.
Kedua, Riant melanjutkan, ada kebijakan vendor policy atau kebijakan yang diatur vendor. Dia mencontohkan pemasok produk tertentu yang perlu menjual barang, mendekati suatu kementerian. Kemudian ada pembicaran membuat suatu produk yang ada di kementerian menjadi produk baru produksi vendor.
“Itu tak perlu ada peneliatian dan lain-lain, pokoknya dibuat itu (produk),” kata dia.
Riant menegaskan kebijakan jenis ini disebut korupsi kebijakan. Sebab, kebijakan itu diatur vendor dan vendor tak bertanggung jawab pada publik. Vendor hanya bertanggung jawab pada bagaimana barang tersebut terjual.
Karena itu, Riant mengatakan, harus ada transparansi ihwal kebutuhan pembuatan kartu nikah itu, apakah didorong oleh kebutuhan publik dari studi kajian layak oleh lembaga independen bermutu. Atau memang tiba-tiba muncul karena inisiasi pemasok tertentu.
Kasubdit Mutu Sarana Prasarana dan Sistem Informasi KUA Kementerian Agama, Anwar Saadi, mengatakan, tidak ada istilah bagi-bagi proyek dalam pengadaan kartu nikah yang baru diluncurkan Kemenag. Ia mengatakan, pengadaan kartu nikah dilakukan melalui tender terbuka dan dengan proses yang transparan.
Proses tender dilakukan oleh Lembaga Pengadaan Sistem Elektronik Kemenag. Namun, ia tidak menyebutkan siapa perusahaan pemenang tender tersebut.
"Pengadaan kartu nikah dilakukan melalui tender terbuka. Makanya kalau dibilang bagi-bagi proyek itu keliru, siapa pun yang menang itu terbuka. Lalu siapa perusahaan pemenangnya, saya kira itu tidak usah diumumkan ke publik," kata Anwar kepada Republika, Kamis (15/11).
Anwar juga memastikan data yang ada di aplikasi kartu nikah aman dan tidak akan disalahgunakan. Kalau pun barcode-nya dihilangkan, data tidak akan terbaca. Sedangkan server-nya yang terkait dengan Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Nikah Berbasis Website (Simkah Web) dipegang oleh Biro Humas dan Pusat Data Informasi (Pusdatin) Kemenag.
Ia menambahkan, jika biaya pencetakan kartu nikah 2018 relatif murah, yaitu Rp 680. Menurutnya, yang mahal adalah aplikasi datanya. Di tahap awal, Kemenag telah mencetak sebanyak 500 ribu pasang kartu nikah. Pada 2019 mendatang, pemerintah berencana akan menerbitkan sebanyak 2.500.000 kartu nikah.
Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag, Mohsen, menegaskan, pengadaan kartu nikah juga bukan program dadakan. Melainkan, menurutnya sudah melalui mekanisme persetujuan DPR sebelum pagu anggaran tahun 2018 ditetapkan.
"Kami merencanakan untuk tahun 2019, pengadaan kartu nikah tak lagi menggunakan APBN murni, tapi anggaran yang bersumber dari dana PNBP Nikah Rujuk di luar Kantor," kata Mohsen, Kamis (15/11).
Menurut Mohsen, kartu nikah penting diluncurkan karena masih ada ruang kosong kebutuhan publik yang belum terpenuhi. Kartu nikah menjadi solusi antara selama KTP-el masih berproses menuju single identity.
Saat ini, untuk mengurus visa ke luar negeri misalnya, pasangan yang sudah menikah memerlukan rangkaian legalisasi berjenjang dari KUA tempat yang bersangkutan menikah. Proses selanjutnya adalah legalisasi ke Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Luar Negeri. Menurutnya, alur ini kurang sejalan dengan semangat reformasi birokrasi yang mementingkan aspek kecepatan dan kemudahan bagi masyarakat.
"Maka, kartu nikah menjadi solusi yang memudahkan bagi masyarakat," ujarnya.
Kartu Nikah