REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi mengatakan, pihaknya tidak bisa memaksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera melakukan tindak lanjut atas putusan soal uji materi PKPU Nomor 26 Tahun 2018. MA menegaskan, setelah salinan putusan diterima KPU, maka tindak lanjut seharusnya sudah bisa dilakukan.
Sebagaimana diketahui, MA memutus uji materi soal syarat pencalonan anggota DPD itu pada 25 Oktober 2018. Kemudian, salinan putusannya baru diterima oleh KPU pada 9 November 2018. Meski saat ini sudah hampir satu bulan sejak putusan dibacakan, KPU belum menentukan sikap untuk menindaklanjuti putusan tersebut.
"Kami tidak bisa memberikan teguran atau tidak bisa memaksa KPU menindaklanjuti putusan itu. Sebaab memang tidak ada aturan untuk memaksa sebagaimana putusan perdata," ujar Suhadi ketika dikonfirmasi, Kamis (22/11) malam.
Suhandi melanjutkan, KPU mulai bisa menindaklanjuti putusan MA setelah salinannya diterima oleh mereka. Dengan demikian, Suhadi menyebut jika setelah itu putusan MA sudah menjadi milik masyarakat.
"Maka semestinya menjadi kewajiban lembaga yang bersangkutan untuk menindaklanjuti putusan lembaga peradilan. Putusan MA juga memiliki kekuatan hukum MA sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK),"
Sementara itu, dalam Peraturan MA Nomor 01 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materi, pada pasal 8 ayat (2), menyebutkan kewajiban untuk menindaklanjuti putusan dalam waktu 90 hari. Bunyi aturan itu yakni 'Dalam 90 hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim Kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum'.
Sebelumnya, MA menyatakan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD tidak bisa diberlakukan. Alasannya, syarat pencalonan yang tertuang dalam pasal 60 A PKPU tersebut bertentangan dengan pasal 5 huruf dan dan pasal 6 ayat (1) huruf I UU Pembentukan Peraturan Perundangan Nomor 12 Tahun 2011.
Putusan atas gugatan yang diajukan oleh OSO ini jugayebut bahwa pasal 60 A memilikin kekuatan hukum yang mengikat. Namun, MA menegaskan pasal ini berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan surut kepada peserta pemilu calon anggota DPD yang sudah mengikuti rangkaian Pemilu 2019.
Setelahnya, pada 14 November 2018 PTUN memutuskan mengabulkan gugatan OSO terkait pencalonan anggota DPD. PTUN juga menyatakan Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018 dibatalkan.
Selain itu, PTUN meminta KPU mencabut mencabut surat keputusan Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tanggal 20 September 2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019. Selanjutnya, PTUN meminta KPU menerbitkan keputusan Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang baru yang mencantumkan nama OSO sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019.
Kedua putusan itulah yang sampai saat ini menjadi polemik dan belum ada tindaklanjut dari KPU. Sebab, di sisi lain ada putusan MK yang berbeda dengan putusan MA. Putusan MK juga tidak sejalan dengan putusan PTUN.
Adapun putusan MK menyatakan mengabulkan permohonan uji materi atas pasal 128 huruf I UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Menurut MK, pasal 182 huruf I tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Pasal itu menyebutkan bahwa calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'.
Adapun pekerjaan lain yang dimaksud yakni tidak melakukan praktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang atau hak sebagai anggota DPD.