REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak ada perubahan signifikan kepada masyarakat terhadap pola baru sistem pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Sebab, perubahan tersebut hanya mencakup pola pembayaran.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, pemerintah menganggarkan Rp 2,5 triliun atau setara dengan 250 ribu hingga 260 ribu ton beras. "CBP itu bukan serapan, CBP itu pengelolaan cadangan beras pemerintah. Tahun-tahun sebelumnya, 2018 ke belakang menggunakan pola lama," katanya, Kamis (29/11).
Pola lama tersebut yakni, pemerintah membeli beras Bulog dengan anggaran Rp 2,5 triliun senilai 250-260 ribu ton. Tapi, saat melakukan Operasi Pasar (OP) atau bencana alam, CBP tersebut yang adalah milik pemerintah akan digunakan.
"Yang kami gelontorkan itu beras pemerintah," ujar dia. Seperti diketahui, penggunaan CBP adalah untuk stabilisasi harga, bencana alam dan bantuan internasional.
Namun, mulai tahun depan pola pembelian ini akan diubah. Pemerintah tidak membayar secara keseluruhan melainkan bertahap.
"Misalnya hari ini kita keluarkan 100 ton itu langsung lapor ke pemerintah untuk segera diganti. Dengan pola begitu, hanya yang keluar saja yang diganti pemerintah," katanya. Cara baru ini dinilai lebih efisien bagi pemerintah.
Selama ini Bulog menyimpan stok pemerintah, merawat dan mengelolanya untuk tetap baik saat dikeluarkan. Pemerintah mengharapkan tahun depan ada stok Bulog hingga 1,5 juta ton beras.
"Artiya Bulog diminta siapkan 1,5 juta ton tapi kalau terpakai 750 ribu ton, ya sisanya buat Bulog jual sendiri," ujarnya.
Bulog sebagai badan usaha juga bertugas menjual secara komersial sesuai dengan harga pasar. Hal ini dilakukan untu tetap mendapat keuntungan sebagai korporasi.
Saat ini, beras komersil milik Bulog hampir mencapai 800 ribu ton. Sedangkan CBP di angka lebih dari satu juta ton.