REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengungkapkan alasan perpanjangan penahanan tersangka suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 Idrus Marham. Febri mengatakan, penyidik akan memaksimalkan pemeriksaan untuk menggali lebih dalam kemungkinan keterlibatan pelaku-pelaku lain dalam kasus suap yang menjerat mantan Menteri Sosial itu.
"Perpanjangan sampai tanggal 28 Desember. Artinya dalam 30 hari ini kami akan mematangkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh IM, kemudian kerja sama dengan siapa, termasuk dengan Eni Saragih, dengan Kotjo sebagai pihak yang diduga memberi dan juga pihak-pihak yang lain," ujar Febri dalam pesan singkatnya, Kamis (29/11).
KPK, sambung Febri, juga perlu mengidentifikasi lebih lanjut rangkaian perbuatan, bukan hanya terkait bagaimana konsorsium dibentuk tetapi juga bagaimana PT Samantaka Batubara ditunjuk sebagai sumber penyedia batubara bila proyek PLTU Riau-1 terealisasi. Samantaka adalah anak perusahaan BlackGold Natural Resources Limited milik terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo.
"Itu juga menjadi poin pendalaman oleh saksi-saksi. Memang agak lebih luas ya dibanding dengan penyidikan yang dilakukan terhadap JBK sebelumnya, karna memang ruang lingkupnya lebih dari itu," Febri menjelaskan.
Pada Rabu (28/11) Idrus mengungkapkan baru saja menandatangani perpanjangan masa tahanan. Dia berharap proses hukum yang menderanya lekas disidangkan.
"Ya ini perpanjangan ya, yang kedua, terakhir, satu bulan terakhir ini dan tentu kami berharap semua nanti berjalan dengan baik dan kita hargai proses-proses yang dilakukan KPK," ujar Idrus.
Sebelumnya dalam persidangan, terdakwa perkara suap proyek PLTU Riau-1, Johannes B Kotjo mengungkapkan kesepakatan skema proyek tersebut. Dia mengatakan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir menolak menggunakan sistem tender dalam pengadaan listrik di Riau. Sofyan, kata Kotjo ingin agar proyek dikerjakan sesuai Peraturan Presiden nomor 41 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan.
Kotjo sempat merasa keberatan dengan keinginan Sofyan itu. Saat menyatakan keberatan, Kotjo mengaku diancam Sofyan tidak dilibatkan dalam proyek PLTU Riau-1. "Waktu Saya ke Beijing (temui Chec Huadian) PLN ancam kalau enggak mau, ya sudah kita cari yang lain saja," kata Kotjo dalam sidang beberapa waktu lalu.
Jaksa KPK juga sudah menuntut empat tahun penjara terhadap Kotjo. Selain tuntutan empat tahun penjara, terdakwa kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau-1 itu juga dituntut membayar denda Rp 250 juta subsidair enam bulan kurungan.
Dalam surat tuntutannya, Jaksa KPK, meyakini Kotjo terbukti menyuap mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eni Maulani Saragih dan Mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham untuk mendapatkan proyek PLTU Riau-1.
Sementara Eni, pada Kamis (29/11) didakwa menerima suap senilai Rp 4,75 Miliar terkait proyek pembangunan PLTU Riau-1. Selain suap, Eni Saragih juga didakwa terima gratifikasi senilai Rp 5,6 Miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
KPK menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan PLTU Riau-I, yakni bos Blackgold Natural Recourses Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK) yang sudah menjadi terdakwa, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI EniMaulani Saragih (EMS), serta mantan Menteri Sosial Idrus Marham (IM).
Eni bersama dengan Idrus diduga menerima hadiah atau janji dari Kotjo. Eni diduga menerima uang sebesar Rp6,25 miliar dari Kotjo secara bertahap. Uang itu adalah jatah Eni untuk memuluskan perusahaan Kotjo sebagai penggarap proyek PLTU Riau-I.
Penyerahan uang kepada Eni tersebut dilakukan secara bertahap dengan rincian Rp4 miliar sekitar November-Desember 2017 dan Rp2,25 miliar pada Maret-Juni 2018. Idrus juga dijanjikan mendapatkan jatah yang sama jika berhasil meloloskan perusahaan Kotjo.