REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron telah menginstruksikan Perdana Menteri Prancis Èdouard Philippe mengadakan pembicaraan dengan para demonstran rompi kuning. Hal itu dilakukan setelah memanasnya situasi di Paris menyusul bentrokan antara demonstran dengan aparat kepolisian.
Menurut keterangan yang dirilis kantor kepresidenan Prancis pada Ahad (2/12), Macron telah menggelar pertemuan dengan jajaran pemerintahannya. Dalam pertemuan itu, Macron meminta Menteri Dalam Negeri Prancis Christophe Castaner menyiapkan pasukan keamanan guna mengantisipasi berlanjutnya demonstrasi.
Ia pun menginstruksikan Philippe agar mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin politik dan perwakilan dari kelompok demonstran rompi kuning. Seorang sumber di kantor kepresidenan Prancis mengatakan Macron tidak akan membuat pernyataan publik kendati ada seruan agar dia menawarkan konsesi langsung kepada para demonstran.
Selama akhir pekan lalu, lebih dari 130 ribu orang berdemonstrasi di seluruh Prancis. Mereka menyuarakan protes atas kebijakan pemerintahan Macron yang menaikkan harga bahan bakar dan pajak.
Di Paris, demonstrasi berujung ricuh setelah massa terlibat bentrokan dengan aparat keamanan. Sejumlah mobil menjadi sasaran pembakaran. Restoran, bank, dan butik-butik mewah di kota tersebut pun turut dirusak dan dijarah para demonstran.
Guna mengontrol situasi, kepolisian Paris dilaporkan menembakkan 10 ribu tabung gas air mata dan granat kejut ke arah massa. Sedikitnya 133 orang mengalami luka-luka.
Kerusuhan di Paris akhir pekan lalu menjadi yang terburuk sejak 1968. Menurut jaksa penuntut Paris Remy Heitz, sebanyak 378 orang telah ditahan sehubungan dengan kerusuhan di sana. 33 di antaranya berusia di bawah 18 tahun.
Juru bicara pemerintah Benjamin Griveaux mengungkapkan bahwa penerapan keadaan darurat sedang dipertimbangkan. Kendati demikian, ia menegaskan pemerintahan Macron tidak akan menarik kembali kebijakan terkait bahan bakar dan pajak. "Kami tidak akan mengubah arah. Kami yakin itu," ujar Griveaux.
Sementara itu pemimpin sayap kanan Marine Le Pen dan pemimpin partai sayap kiri La France Insoumise, Jean-Luc Melenchon telah menuntut pemerintah membatalkan kenaikan pajak dan bahan bakar. Mereka pun menyerukan agar parlemen dibubarkan dan pemilihan umum digelar.
Namun seruan itu dinilai tidak mungkin diwujudkan. Macron masih memiliki sisa tiga setengah tahun dari masa jabatannya dan mayoritas kuat di parlemen. Hal itu dinilai masih mengamankan posisi Macron.
Lembaga survei Odoxa mengatakan gelombang protes yang telah terjadi sejak pertengahan November lalu telah menghempaskan popularitas Macron ke rekor terendah. Presiden Odoxa Gael Silman mengungkapkan saat ini Macron harus menghadapi situasi serba kalah.
"Entah Macron menyerah pada tekanan dan diejek oleh lawan sebagai lemah atau dia meletakkan perbedaan pendapat itu," ujar Silman.
"Dalam skenario kedua, Macron akan tetap menjadi pecundang, karena apa yang semua orang akan ingat adalah dia bergumul dengan kelas populer. Dia akan menang, tapi dengan mengorbankan mereka," kata Silman.
Macron dinilai sedang menghadapi krisis terbesarnya sejak menjabat presiden 18 bulan lalu. Sebab gelombang demonstrasi yang memprotes kebijakan reformasi ekonominya telah berubah menjadi gerakan antipemerintah.