REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Penyanyi dangdut Via Vallen memenuhi panggilan Polda Jawa Timur pada hari ini, Kamis (20/12). Pemanggilan tersebut terkait pemeriksaannya sebagai saksi terkait kasus produk kosmetik ilegal bermerek Derma Skin Care (DSC) Beauty.
Penyanyi asal Sidoarjo ini datang sekitar pukul 11.35 WIB dengan mobil warna putih dan mengenakan hijab warna hitam menuju ke ruang penyidik. Tidak banyak keterangan yang disampaikan pelantun "Meraih Bintang" yang merupakan "Theme Song" Asian Games 2018 tersebut.
Dia hanya menjelaskan kondisinya saat akan menjalani pemeriksaan dan keberangkatannya dari Jakarta. "Alhamdulillah, saya berangkat dari Jakarta pukul 10," kata Via singkat sebelum masuk ke ruang penyidik.
Sementara itu, Wakil Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim AKBP Arman Asmara mengatakan, Via Vallen adalah artis kedua yang memenuhi panggilan Polda Jatim, setelah Nella Kharisma pada Selasa (18/12) lalu. "Salah satunya yang sudah datang itu Nella Kharisma. Hari ini Via Vallen, kita siapkan waktu," ujarnya.
Selain dua artis dangdut ini, penyidik juga sudah melayangkan surat pemanggilan terhadap beberapa artis yang menjadi endorse untuk produk kosmetik ilegal dan akan datang di awal Januari 2019.
Arman mengaku, pertanyaan yang diajukan kepada perempuan yang terkenal dengan lagu "Sayang" ini tidak jauh berbeda dengan yang dipertanyakan kepada Nella Kharisma.
Setidaknya ada enam artis, yakni Via Vallen, Nella Kharisma dan empat artis berinisial NR, MP, DJB dan DK yang menjadi "endorse" produk kosmetik ilegal dengan merek DSC Beauty dari Kediri yang tidak terdaftar di BPOM.
Polisi mengamankan satu tersangka berinisial KIL. Selama dua tahun, tersangka memproduksi kosmetik menggunakan bahan untuk campuran dari sejumlah merek terkenal, antara lain, Marcks Beauty Powder, Mustika Ratu, Sabun Papaya, Vivo Lotion, Vasseline, Sriti dan lain-lain.
Tersangka KIL juga menjual produknya dengan banderol mulai dari Rp 350 ribu hingga Rp 500 ribu per paket. Dalam sebulan, tersangka mampu menjual sebanyak 750 paket dengan wilayah penjualan mulai dari Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan dan Makassar.
Dalam perkara ini, tersangka dijerat Pasal 197 jo Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar.